Rantasa’, Merdeka Belajar atau Belajar Merdeka

0
DOK: Ilutrasi

lpmgraffity.com – Gawat, dosen yang mengajar di kelas Minggu lalu rupanya datang lebih awal dibanding diriku. Kata Rantasa’ dalam hati.

Namanya Rantasa’, salah seorang mahasiswa yang duduk di semester 3, berambut gondrong, Identik celana sobek di lutut, ketika ke kampus selalu menenteng tas bertuliskan “Sok Modernis, rupanya dilematis”.

Pagi terlihat cerah, Namun mata masih kelilipan akibat begadang semalam suntu, hari ini belajar mata kuliah Manajemen SDM, saya teringat dengan kontrak kuliah Minggu lalu, Salah satu pasal dalam kontrak kuliah itu adalah “Mahasiswa yang telat mengikuti mata kuliah, Maka tak diperbolehkan masuk ke dalam kelas”. Ngeri ngeri sedap.

Penyebutan pasal demi pasal perlahan di sebutkan dosen pengampuh untuk disetujui, Istilah kontrak kuliah bukan lagi diskursus baru dikalangan mahasiswa, Usai kuliah perdana, Maka kita harus mengikuti kontrak kuliah layaknya sidang paripurna anggota DPR. Namun yang mengganjal difikiran, apakah dosen sepenuhnya menjadi penentu, dan mahasiswa sepenuhnya menjadi pemaklum dan penurut. Kalau demikian, maka ruang perkuliahan kembali kita arahkan 90° menghadap ke sekolah tingkat Dasar.

Rutinitas pagi rantasa sebelum mengikuti mata kuliah adalah nongkrong sambil minum kopi di kantin sederhana tepat pada pelataran kampus, perihal kopi adalah hal yang tak bisa terpisahkan dari Rantasa, karena tempat kelahiran Rantasa adalah sebuah desa yang mata pencahariannya bergantung pada hasil kopi, makanya Rantasa sedikit memiliki kulit yang hitam tapi manis.

Alih-alih soal aturan memasuki kelas, akibat terlena dengan suguhan kopi dari tante yang menjual di kantin, rupanya menjadi malapetaka lagi. Akibatnya, rantasa telat dan terkena operasi Swiping saat ingin memasuki kelas. Dirinya telat 5 menit mengikuti mata kuliah, sesuai kesepakatan, mahasiswa yang telat 5 menit dari waktu yang telah ditentukan, maka tak ada dispensasi maupun negosiasi untuk tetap mengikuti mata kuliah.

“Gawat”, kata Rantasa Sambil duduk termenung di bawah tangga, sesekali memperlihatkan wajah kekesalannya.

‘Sepertinya, kali ini saya akan babak belur’. kata rantas sambil menggaruk kepala.

Masa perenungan Rantasa sedikit terkikis dengan kehadiran Songkolo’, dari kejauhan Songkolo’ terlihat berjalan pontang-panting.

‘Kenapa ko’? tanya Rantasa
Mati miki’, terlambat Ki lagi. Jawab Songkolo’
Iya bah, terancam Ki lagi ini. balas Rantasa

Rupanya Songkolo’ sekelas dengan Rantasa, rutinitas kesehariannya adalah telat masuk kelas.

‘Jadi, bagaimana mi, apa kira-kira alasan ta ini? tanya Songkolo’.
‘aissss, nda adami alasan ini, karena setiap hariki beralasan’. Sahut Rantasa’

‘Begini mi kalau belajar di ruangan bah, harus lewat pintuki masuk’. curhat Rantasa’.
‘dimana Jiko pale mau belajar’? tanya Songkolo’.
‘Maksudku saya sekali-kali ki belajar diluar, diruang terbuka begitu e’. Jawab Rantasa’.
‘Susah mi itu Rantasa’. kata Songkolo’
‘Bukan susah, terlalu dipaksa ini belajar diruangan, Banyak sekali Ki mengadopsi model pendidikan zaman kolonial, sedangkan kita ini orang Nusantara lebih suka belajar dan berbaur dengan alam’. balik Rantasa’
‘Cau nakke, Sok puitis ko bah’. Jawab Songkolo’.

‘Iming-iming merdeka belajar, tapi kayaknya harus belajar merdeka mi saja dulu,hhhh’. jawab Rantasa’ sambil tertawa terbahak-bahak.(A….)