CERPEN – Tertuliskan dalam lembaran kuno seperti cerita-cerita, melegenda dari mulut ke mulut dan dipercaya hingga kini. Kisahnya, bahwa Tuhan memilih seseorang di setiap masa untuk sanggup mendengarkan bahasa dunia. Seseorang yang dapat merasakan bagaimana dunia berinteraksi melalui indra-indranya, seperti halnya telinga kepada mulut. Seorang itu dianugerahi sebuah kelebihan melalui perkataan bijaknya, memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi siapa pun, dicatat, diceritakan, hingga berabad-abad lamanya.
Bahasa dunia tak seperti bahasa dari manusia ke manusia, melainkan hati ke hati. Bahasa yang orang tuli pun dapat mendengarnya dan orang buta bisa melihatnya. Bahasa antara angin dengan air menjadinya ombak di laut, gunung dengan pepohonan menjadikannya hutan rimbun, lalu hujan dengan cahaya menjadikannya pelangi sebagai bentuk keindahan. Mereka saling berkomunikasi menggunakan bahasa dunia layaknya pada semeja besar alam semesta di mana setiap kursi diduduki oleh ciptaan-ciptaan Tuhan.
Sampai pada suatu ketika saat dua benda langit bertemu di penghujung tahun kabisat, mereka berbincang lebih lama dari biasanya. Sang matahari dan sang bulan tidak akan menyangka bahwa percakapan mereka mendatangkan seseorang yang dapat menyentuh, bukan hanya kedua hati mereka melainkan juga seluruh hati makhluk dengan perkataannya.
***
“Hei, Matahari!” sapa Bulan dengan dinginnya. “Manusia sangat mengagumi sinarmu yang terang di pagi dan siang hari. Mereka bersemangat melakukan aktivitasnya ketika sinarmu sudah menembus jendela-jendela mereka.”
Matahari yang merasa sedang dipuji menyombongkan dirinya seakan dia paling penting di semesta ini, khususnya pada bumi. Lalu, matahari itu membalas “Ya, tentu saja. Aku adalah sumber cahaya yang memberikan mereka energi untuk menjalani hidup. Mereka takjub dengan kekuatanku.”
Namun, bulan yang tidak ingin kalah mengeluarkan ucapan yang membuat matahari terdiam sesaat.
“Tetapi, apakah engkau pernah melihat saat diriku muncul di langit?” kata Bulan.
“Langit malam tanpamu akan menjadi lebih indah dan tenang. Dan bukan hanya itu, malam adalah waktu dimana manusia bisa beristirahat dengan damai. Aku memberikan hiburan dan ketenangan pada saat mereka membutuhkannya.”
Perkataan Bulan membuat matahari mengerutkan kedua alisnya lalu berkata, “Tapi sebagian besar makhluk hidup melakukan hal pada saat aku bersinar. Mereka melakukan segala sesuatu saat sinarku menyinari bumi.”
Bulan tersenyum, seolah-olah dia sudah tahu matahari akan mengatakan itu. “Iya, itu benar. Tapi tahukan kau bahwa mereka juga membutuhkan waktu untuk istirahat? Mereka butuh waktu untuk mengisi tenaga mereka. Dan di saat itulah diriku menguasai langitnya.”
Beberapa saat berlalu pertengkaran semakin hebat, mereka saling sahut-menyahut menunjukkan bahwa merekalah yang paling berguna dan paling berkuasa di langit manusia. Matahari yang akan melewati jam kerjanya kini bersinar terang kembali akibat pertengkaran. Begitu pun dengan bulan, seakan menahan sinar matahari dan membuat langit timur menggelap di saat belum waktunya.
Tiba-tiba seorang anak lelaki melihat ke arah bulan dan matahari yang sedang sibuk berdebat. Di antara mereka, anak lelaki itu tersenyum kecut, seakan memberi sinyal kepada mereka berdua.
“Maaf, Bulan dan Matahari,” ucap anak lelaki itu.
“Aku merasakan sore ini berbeda dari sore-sore sebelumnya, sedikit panas, dan membuatku mengantuk, apakah ini akibat karena kalian saling bertengkar di atas sana?”
Matahari dan Bulan mendengarkan ucapan itu dibuat terkejut lalu menatap satu sama lain.
Mereka melihat utusan Tuhan tepat di bawahnya. Anak lelaki itu berjalan menadah tangan kanannya di atas kedua mata ketika menoleh ke arah matahari. Ia memandang sebentar sebuah ciptaan yang mengagumkan dari Tuhan.
“Semua itu tidak akan terjadi ketika Bulan tidak memujiku terlebih dahulu,” kata matahari menyalahkan bulan. “Aku hanya terbawa dengan sanjungannya seolah-olah diriku lebih hebat dari Bulan. Tapi kupikir memang begitu.”
“Lihat..,” timpal bulan. “Matahari terlalu sombong dengan itu, padahal diriku merasa bahwa akulah yang lebih hebat dari matahari.”
Anak lelaki itu seketika terdiam memandang kedua benda langit itu dengan wajah mendatar, dan terbesit di hatinya sebuah perkataan, “Sebenarnya aku sangat menyukai kalian berdua.” Kata anak lelaki itu, “Aku bahagia melihat dan merasakan sinar hangatmu di pagi hari, Matahari! Tapi, di siang hari dirimu terlalu panas untuk kulitku yang tipis ini.” Matahari terdiam membisu.
“Begitu pun dirimu, Bulan!” lanjut anak lelaki. “Aku sangat senang menyaksikan pesonamu di malam hari, di malam penuh bintang ketika pandanganku tertuju pada langit. Tapi, diriku mengetahui bahwa sesuatu yang lebih nyata yaitu setan-setan jahat akan hidup seiring malam-mu semakin larut.” Bulan melakukan hal yang sama.
Gunung, pepohonan, angin, air, langit, bahkan bumi mendengar ucapan si anak lelaki. Mereka menyaksikan panggung langit sore itu dengan pertengkaran antara bulan dan matahari. Anak lelaki yang menyadari hal tersebut berniat memberi sebuah pembelajaran dari apa yang mereka saksikan saat ini.
“Apa kalian tidak malu dengan bumi yang kupijak ini?” lanjutnya. “Aku tahu tanpa matahari kehidupan di atas bumi akan sirna, tapi bumilah yang selalu kuinjak dengan senantiasa memberikan tempat bagiku untuk hidup. Aku tahu cahaya bulan dan bintang sangat indah pada cerahnya malam,vtetapi aku, dan seluruh makhluk hidup lainnya, di bumi ini, kami menutup mata dan tidak menyaksikan keindahanmu semalaman penuh.” Diam mencekam di antara mereka pun terjadi.
“Bagiku tidak ada yang unggul atau lebih dari makhluk satu dengan lainnya di dunia ini. Kita diciptakan oleh tangan yang sama, dengan fungsi berbeda, serta kelebihan dan kekurangan berbeda pula. Tidak ada gunanya sebagai ciptaannya untuk saling bertengkar tentang siapa yang paling berkuasa, sebab pada akhirnya kita akan sama di hadapan kematian.”
Anak lelaki itu seketika tunduk menyentuhkan lutut dan kedua telapak tangannya di tanah, merasakan dinginya bumi, mendengar hembusan angin semakin sejuk, dan awan-awan membuka bagai tirai bumi. Lalu dia melanjutkan perkataannya.
“Tuhan memberikan kedua tangan ini dengan alasan supaya aku bisa membantu orang lain dan berdoa kepadanya, dan Tuhan memberikan kedua kaki ini untukku bisa melangkah ke sesuatu-sesuatu yang baik. Tapi aku merasa salah dan malu ketika kugunakan seluruh bagian tubuh ini untuk sesuatu yang berbeda. Maka itulah tujuan Tuhan menciptakan, mereka menguji makhluknya dengan dua keadaan tersebut.”
“Bagaimana dirimu bisa tahu kalau kau diciptakan untuk itu?” tanya bulan.
Anak lelaki terdiam sesaat memandangi langit yang kosong. “Aku tidak tahu bagaimana menjawab itu. Tapi ketika diriku terbangun dari tidur semalaman, lalu merasakan ada sesuatu yang aneh seperti tidak menggerakkan tubuhku untuk berbuat baik, atau tidak membuat senyumku tampak ke siapa pun, aku tahu bahwa itu salah. ‘Salah’ yang dapat dirasakan ketika angin bertengkar dengan petir membuat rumah-rumah manusia tak bersalah rusak dalam seperkian detik. ‘Salah’ yang sama, yang dirasakan ketika kita tahu bahwa kita diciptakan untuk hal yang besar, namun memilih untuk membuat diri diam layaknya patung yang berdebu. Tapi, itulah kehidupan.”
Matahari merasa bersalah dengan keadaan ini, tapi hatinya belum bisa menerimanya. Lalu matahari menjelaskan isi hatinya kepada si anak lelaki. “Hatiku tidak menginginkan aku untuk disalahkan, tapi pikiranku merasa aku harus meminta maaf kepada bulan karena sikapku yang seperti ini. Tidakkah itu seperti yang kau katakan bahwa Tuhan mengujiku dengan dua keadaan itu?”
“Sikap kita tercermin pada hati,” jawab si anak lelaki. “Namun hati yang dirasuki oleh sesuatu yang jahat akan menganggap sikap jahat itu adalah hal benar untuk dilakukan. Sebab, hati juga bahasa dunia, yang ada di diri kita sendiri begitu pun di diri makhluk lain, di mana itu dapat dipengaruhi.”
“Dan dari situ engkau akan paham kenapa hati adalah bahasa dunia, karena yang senantiasa mendengarkan hati bukanlah telinga melainkan pikiran. Tapi pikiranmu telah menolak apa kata hatimu karena hatimu terpengaruh oleh suatu yang jahat.”
“Selama bumi mengelilingiku, aku melihat, dan tak terhitung lagi bagaimana manusia merusak alam. Bahkan untuk kehidupan kecil seperti sehelai rumput yang tumbuh pun mereka cabut, dan seekor kelinci mereka buru, apakah kalian merasakan hati kalian sudah dirasuki hal-hal jahat?”
“Ingatlah perkataanku ini wahai kalian yang mendengarnya,” kata anak lelaki itu sambil berjalan perlahan menuju bangkai burung di bawah sebuah pohon, lalu ia mengambilnya. “Lihatlah nasib burung kecil ini, mulai membusuk dan dimakan oleh ulat-ulat kecil. Pertanyaanku adalah, siapa yang patut disalahkan ketika burung ini tidak bisa terbang ke mana pun lagi, tidak bisa makan lagi, dan bertemu dengan keluarganya lagi? Apakah kau pohon yang tidak menyediakan rumah dan makan bagi burung ini? Atau siapa?”
Semua makhluk yang mendengar pertanyaan-pertanyaan anak lelaki itu seketika terdiam memikirkan jawabannya. Tak satu pun dari mereka menemukan siapa yang harus disalahkan karena kematian dari burung kecil itu. Beberapa saat berlalu, mereka hanya melempar pandangan satu sama lain.
“Dia memilih kematiannya sendiri,” ujar Air di sungai. “Aku mengenal burung itu. Beberapa hari yang lalu dia mendatangiku karena terbang terlalu jauh, dia tampak kehausan, tapi tak mengambil setetes pun air dari diriku.”
“Hanya Tuhan yang tahu penyebab kematiannya,” balas si anak lelaki.
“Mengetahui penyebab kematian burung ini bukan tujuanku memperlihatkan bangkainya pada kalian, tetapi lihatlah setelah dia mati. Kehidupan muncul di sana. Ulat-ulat kecil memakan dagingnya, lalu mereka bermetamorfosis menjadi serangga. Begitulah sekiranya bagaimana manusia melakukan pembunuhan kecil. Mereka membutuhkan sesuatu dari alam untuk bertahan hidup dan pada akhirnya mereka akan merasakan kematian, dimakan oleh alam, lalu tanah akan menumbuhkan kehidupan baru di atas kuburan-kuburan mereka. Itu adalah kehidupan.”
Setelah mendengar penjelasan luar biasa dari anak lelaki itu, Bulan dan Matahari saling menatap satu sama lain, mereka tersadar dari keangkuhan mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa diri mereka pasti ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Lalu Bulan dan Matahari memutuskan untuk mengakhiri perseteruan dan saling bekerja sama menghiasi bumi dengan nyaman seterusnya. Sampai pada setiap sore mereka bertemu kembali, mereka bersenda gurau dengan senyuman masing-masing, lalu manusia menyaksikan indahnya sore yang tak akan mereka lupakan.
Penulis: Muh. Darif Aziz
Editor: Regita Amri