lpmgraffity.com — Edmund Husserl, saat menjelaskan fenomenologi transendentalnya mengemukakan salah satu konsep yang disebut epoche. Epoche adalah salah satu prinsip netral dalam penelitian fenomena dengan cara menangguhkan terlebih dahulu persepsi awal dan berbagai penilaian normatif guna mendapatkan hasil pengamatan yang sebagaimana adanya. Anwar mungkin tidak mampu melakukan epoche dengan sempurna karena pemikirannya tetap terbingkai oleh persepsi-persepsi eksternal yang pernah didapatkannya. Lagipula, metode epoche sangat sulit kalau bukan mustahil dilakukan mengingat manusia selalu dipengaruhi oleh gagasan-gagasan dari luar dirinya saat memahami sesuatu.
Akan tetapi, hal menarik dari tulisan-tulisan Anwar dalam Ziarah ke Halaman Terakhir adalah dia tidak membatasi dirinya pada pendekatan-pendekatan normatif dalam membaca fenomena. Dia bisa menggunakan perspektif dari novel yang pernah dia baca, film yang pernah dia nonton, obrolan sederhana di warung kopi, atau mungkin saja perenungan-perenungannya selama mendekam di kamar mandi. Dia tidak membatasi dirinya harus membaca realitas berdasarkan teori-teori normatif yang umum digunakan orang-orang atau agar terdengar intelektual. Dia membebaskan dirinya dengan membahas apa saja yang mungkin luput dari pengamatan orang-orang dan mengambil persepsi dari mana saja untuk mengolahnya kembali menjadi ide yang khas dalam dirinya.
Pembahasan dengan cara demikian, membuat gagasan Anwar terasa otentik. Otentik tidak berarti bahwa gagasan yang kita utarakan tidak pernah dipikirkan oleh orang lain. Erich Fromm, dalam Escape from Freedom menjelaskan bahwa gagasan disebut otentik jika hasil pemikiran tersebut lahir dari pergulatan intelektual atau dialektika yang ada di dalam diri sendiri. Tidak peduli hasil pemikiran kita sama dengan orang lain atau tidak, selama prosesnya berlangsung secara otentik dari dalam diri sendiri, maka gagasan yang dihasilkan tetap bisa dianggap otentik. Dalam definisi ini gagasan-gagasan Anwar dalam buku Ziarah ke Halaman Terakhir ini bisa dianggap khas dan mendefinisikan dirinya sendiri.
Dalam bukunya, Anwar menyajikan kepada pembaca bagaimana memandang realitas keseharian dalam cara yang berbeda dari orang kebanyakan. Makna dari sesuatu tidak melulu harus didasarkan pada hal-hal materil yang bisa diukur dengan uang. Berharga tidaknya suatu momen, bagi Anwar, tampaknya lebih ditentukan dari bagaimana kita mengakrabi momen tersebut, atau dari bagaimana kita melekatkan pemaknaan terhadap suatu peristiwa. Itulah mengapa pembaca akan menemukan pembahasan yang mungkin sering luput dalam keseharian tapi justru jadi penuh makna dalam alunan kata-kata penulis dari Pekkabata ini. Pembaca akan menemukan pola-pola yang demikian dalam esai yang bercerita tentang ari-ari, fenomena dangdut, mati lampu, atau tempe daun buatan Mbah Mi.
Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Rumah Kaca pernah menyatakan bahwa hidup sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Setelah membaca tulisan-tulisan Anwar, pembaca mungkin akan memikirkan kemungkinan lain. Hidup ini bisa jadi selalu luar biasa, yang membuatnya biasa-biasa saja bahkan sumpek adalah keterbatasan kita menafsirkan hal-hal menakjubkan dari setiap fenomena. Seperti Isaac Newton yang mampu menemukan hukum gravitasi dari apel yang jatuh, atau Archimedes yang memaknai air yang tumpah di bak mandinya sebagai fenomena yang pantas dirayakan dengan teriakan Eureka karena membuatnya menemukan rumus massa jenis. Fenomena yang dialami oleh kedua ilmuwan tersebut selalu menyimpan rahasia yang luar biasa sejak awal, tapi tidak semua orang mampu mengatasi keterbatasan penafsirannya karena terbingkai oleh persepsi orang kebanyakan.
Kenyataan bahwa hari ini kita masih bisa menikmati tempe daun di pagi hari, menikmati kopi seharga dua ribu di warung kopi, dan masih mampu menikmati musik dangdut merupakan sesuatu yang sudah sangat luar biasa. Apalagi di belahan dunia lain, kita mengetahui ada orang-orang yang masih sibuk melepaskan diri dari peperangan, genosida, dan kelaparan. Mampu duduk berdua dan berbincang dengan kekasih dari hati ke hati sudah merupakan nikmat yang patut disyukuri mengingat di luar sana ada orang yang terus dikejar deadline yang membuat mereka semakin berjarak dengan orang di sekitarnya. Mampu tertidur dengan pulas di atas kasur yang kasar bagai belukar tapi dengan mimpi-mimpi bagai bunga merupakan sesuatu yang menakjubkan apabila kita membandingkannya dengan orang-orang yang mimpinya ditumbuhi belukar di tengah ranjang mewahnya yang bertabur bunga.
Anwar juga mengajari kita bahwa realitas tidak selalu harus ditaklukkan. Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah menyesuaikan dan berdamai dengan realitas. Kita mungkin mengeluhkan lampu yang padam atau koneksi internet yang lambat tapi momen-momen yang terasa menjengkelkan tersebut bisa membuka berbagai kemungkinan baru. Dalam suasana rumah atau lingkungan yang gelap gulita, kita masih bisa membuka laptop dengan baterai yang tersisa untuk menonton film pendek. Kita juga bisa menggunakan waktu itu untuk memikirkan kemungkinan adanya dunia paralel seperti yang ada dalam film Everything Everywhere All at Once. Kita juga bisa menggunakan momen-momen tersebut untuk memikirkan kembali pesan-pesan atau resep Udon dari buku yang pernah kita baca atau mencurahkan isi hati kepada orang tua atau pasangan. Sesekali, mari biarkan diri kita belajar menyesuaikan diri dengan realitas alih-alih memaksa realitas menyesuaikan diri dengan kepentingan kita. Lalu coba perhatikan perubahan apa saja yang ditawarkan oleh usaha tersebut!
Tulisan-tulisan Anwar juga bisa membuat pembaca menyadari bahwa kita tidak harus selalu mampu memprediksi, menaksir, mengukur, dan mengobjektifikasi setiap fenomena. Hal penting lain yang bisa dilakukan adalah memahami setiap fenomena dan membiarkannya berbicara dan menyatakan dirinya sendiri. Usaha kita menaklukkan dan menjelaskan dunia seringkali diikuti oleh keinginan meninggikan golongan tertentu dan merendahkan golongan yang lain. Seperti yang terjadi pada para petani yang sering terlupakan dalam kisah-kisah apel yang melegenda sebagaimana yang dibahas Anwar dalam esai “Apel dan Petani”.
Dalam buku yang berisi 25 esai ini, Anwar akan membuat pembaca meyakini bahwa sastra memiliki peran-peran khusus yang tidak bisa digantikan oleh sains. Jika sains (ilmu positivistik) mampu membuatkan kita mengatasi atau menaklukkan realitas, sastra seperti yang ada dalam esai-esai Anwar bisa mampu membuat kita berdamai dengan realitas. Kedua cara mengada tersebut sama-sama diperlukan baik untuk bertahan hidup ataupun merayakan kehidupan.
__________________________
Tim Redaksi
Penulis : Mutiara Salsabila
Editor : Regita Amri