OPINI: Pembunuhan Karakter Mahasiswa di Kampus: Sebuah Tantangan Terhadap Idealismenya

0

lpmgraffity.com-Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter merujuk pada sifat, akhlak, atau budi pekerti seseorang yang membedakannya dari orang lain. Sementara itu, pembunuhan karakter adalah upaya untuk merusak atau mencoreng reputasi seseorang.

Di dalam konteks kehidupan kampus, pembunuhan karakter mahasiswa oleh pihak kampus sering kali tidak disadari oleh mahasiswa itu sendiri. Hal ini terjadi karena tindakan tersebut sering disamarkan dalam bentuk kebijakan atau aturan yang tampak sah secara administratif, sehingga mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka sedang dibatasi atau dipengaruhi dalam pengembangan diri dan karakter mereka.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa identik dengan semangat idealisme dan nalar kritis yang tinggi. Mereka seharusnya menjadi pihak yang berani menyuarakan kebenaran dan mengkritisi berbagai kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat dan dunia pendidikan. Namun, dalam kenyataannya, banyak mahasiswa yang kini cenderung kehilangan kesadaran akan potensi besar yang mereka miliki. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk mengikuti arus tanpa banyak mempertanyakan kebijakan yang ada, menghindari sikap kritis.

Di sisi lain, mahasiswa yang tetap memperjuangkan kebenaran sering kali mendapat cap negatif, seperti dianggap mencari sensasi atau memiliki kepentingan pribadi. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa yang seharusnya kritis terhadap kebijakan kampus sering kali memilih untuk menutup mata dan tunduk pada perintah birokrasi kampus, meskipun kebijakan tersebut jelas bertentangan dengan kepentingan mereka.

Fenomena ini tercermin dalam kasus yang pernah terjadi di IAIN Palopo. Dalam Surat Edaran Nomor 1208.1 Tahun 2022 mengenai Tata Tertib Kehidupan Kemahasiswaan, terdapat peraturan yang melarang mahasiswa menjadikan sekretariat lembaga organisasi kemahasiswaan sebagai tempat menginap. Aturan ini tercantum dalam Peraturan Rektor IAIN Palopo Nomor 4 Tahun 2014, yang mengatur Tata Tertib Mahasiswa, khususnya di Bab V Pasal 10 Poin (e). Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya karena pihak kampus mengeluarkan aturan tersebut tanpa adanya dialog atau komunikasi yang jelas dengan mahasiswa, seolah tanpa memperhatikan dampaknya bagi ruang gerak mahasiswa.

Larangan ini memunculkan pertanyaan tentang kebebasan mahasiswa dalam menjalankan aktivitas organisasi mereka, terutama dalam hal tempat berkumpul dan beraktivitas. Apakah kebijakan ini merupakan langkah awal dalam pembunuhan karakter mahasiswa yang perlahan akan menekan idealisme dan kebebasan berpikir mereka? Kebijakan semacam ini memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan kampus. Banyak mahasiswa yang memilih terlibat dalam kegiatan organisasi untuk menyalurkan aspirasi mereka dan mengembangkan diri, termasuk dalam aktivitas edukatif atau sosial.

Dengan adanya pembatasan terhadap tempat berkumpul seperti sekretariat, mahasiswa seolah kehilangan ruang untuk berekspresi dan belajar dalam suasana yang bebas dan kondusif. Kebijakan ini juga bisa dianggap sebagai bentuk otoritarianisme yang tidak memberi ruang bagi mahasiswa untuk berbicara dan berpendapat. Lebih jauh lagi, tindakan semacam ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kebijakan yang diterapkan oleh pihak kampus dengan kenyataan di lapangan.

Mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan ini dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti aturan yang ada atau mempertahankan idealisme dan kemandirian mereka dalam berorganisasi. Ini adalah ironi, mengingat mahasiswa seharusnya memiliki kebebasan untuk berpikir, berorganisasi, dan mengemukakan pendapat mereka. Jika kebebasan ini dibatasi, maka bisa jadi ini adalah awal dari matinya semangat kritis dan idealisme mahasiswa, yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam kehidupan kampus.

Keadaan ini juga menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang lebih memilih terjebak dalam rutinitas seremonial tanpa berani mengkritisi kebijakan kampus yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dalam situasi ini, mahasiswa ditantang untuk lebih peka dan sadar akan peran mereka sebagai agen perubahan. Mereka harus mampu melihat lebih jauh dari sekadar aturan yang tampaknya biasa saja dan mulai mengkritisi serta mengajukan pertanyaan terhadap kebijakan yang ada. Jika tidak, pembunuhan karakter mahasiswa akan terus berlangsung perlahan, dan idealisme serta nalar kritis mereka akan semakin terkubur.

Pada akhirnya, mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton dalam perdebatan mengenai kebijakan kampus, tetapi harus aktif terlibat dalam diskusi dan kritik konstruktif. Hanya dengan cara ini, karakter mereka sebagai individu yang berpikir kritis dan penuh idealisme dapat terjaga, dan pembunuhan karakter mahasiswa oleh kampus dapat dihentikan.

______________

Penulis: Wahdi Laode Sabania (Mantan PU LPM Graffity 2022-2023)

Editor: Tim Redaksi