LPM Graffity Adakan Bazar Dialog Angkat Isu “Post-Truth Ecology”: Media, Kekuasaan, dan Krisis Lingkungan
lpmgraffity.com-Isu krisis lingkungan dan kebenaran ekologis menjadi fokus utama dalam kegiatan Bazar Dialog bertajuk “Post-Truth Ecology: Media, Kekuasaan, dan Problematika Krisis Lingkungan” yang digelar di Cafe Break Coffee, Palopo. Kegiatan ini menghadirkan ruang diskusi kritis untuk membaca ulang relasi antara regulasi, masyarakat adat, dan peran media dalam menghadapi krisis ekologis yang kian kompleks. (Palopo, 27 Desember 2025).Dialog ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda, yakni akademisi, aktivis masyarakat adat, dan praktisi media, yang membahas bagaimana kekuasaan, kebijakan, dan informasi publik saling berkelindan dalam membentuk narasi lingkungan hidup di era post-truth.
Acara dibuka oleh moderator Novi Rahmadona (Crew LPM Graffity), yang mengajak peserta melihat persoalan lingkungan tidak hanya dari sisi kerusakan alam, tetapi juga dari dimensi sosial dan kemanusiaan. Ia menekankan bahwa di era post-truth, informasi lingkungan kerap dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, sehingga publik kesulitan membedakan antara fakta ekologis dan narasi yang direkayasa.
Pembicara pertama, Hasfi, mengulas persoalan regulasi dan kebijakan lingkungan yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada keberlanjutan ekosistem. Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam masih didominasi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Selama regulasi dibuat tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan hak masyarakat lokal, krisis ekologis akan terus berulang,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara riset akademik dan kebijakan publik agar ilmu pengetahuan benar-benar menjadi dasar pengambilan keputusan yang berkeadilan ekologis.
Selanjutnya, Irsal Hamid, Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tana Luwu, menyoroti perjuangan masyarakat adat dalam menghadapi konflik agraria dan perampasan ruang hidup. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat sejatinya telah menjaga alam secara turun-temurun, namun justru menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kebijakan pembangunan.
“Tanah dan hutan bagi kami bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi bagian dari kehidupan. Ketika tanah dirampas, yang hilang bukan hanya ruang hidup, tetapi juga identitas,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam narasi dan kebijakan lingkungan.
Sementara itu, pembicara ketiga, Reski Azis, selaku Pembina LPM Graffity, membahas peran media dalam membentuk persepsi publik terhadap isu lingkungan. Menurutnya, kerusakan tidak hanya terjadi pada alam, tetapi juga pada informasi yang beredar di ruang publik.
“Kerusakan hari ini tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada informasi media yang sering ditunggangi kepentingan tertentu,” jelasnya. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara jurnalis, akademisi, dan masyarakat adat untuk menghadirkan informasi lingkungan yang berimbang, kritis, dan berpihak pada keberlangsungan hidup.
Diskusi berlangsung interaktif dengan berbagai tanggapan dan pertanyaan dari peserta. Sejumlah peserta menyoroti pentingnya membangun kolaborasi yang adil antara pemerintah, masyarakat adat, dan media tanpa saling menegasikan kepentingan satu sama lain. Suasana forum berlangsung hangat, reflektif, dan partisipatif.
Menutup kegiatan, moderator mengajak seluruh peserta untuk memperkuat kerja lintas sektor dalam menjaga kebenaran ekologis dan memperjuangkan keadilan lingkungan.
“Menjaga alam bukan hanya tugas satu profesi atau kelompok, tetapi tanggung jawab kita semua yang hidup di dalamnya,” ujar Novi.
Melalui kegiatan ini, diharapkan tumbuh kesadaran kolektif bahwa krisis lingkungan bukan semata krisis alam, melainkan juga krisis kebenaran dan kemanusiaan. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi lintas disiplin dan keberpihakan pada kehidupan untuk menghadapi tantangan ekologis di masa depan.
Penulis: Novi (Crew LPM Graffity)
Editor: Mas’un

Tinggalkan Balasan