Ketika Ngaji YouTube Lagi Trend

0
Ayying, Pimpinan Umum LPM Graffity IAIN Palopo

Nggak Usah Mondok,
Nyatanya Pengikut Setia hanya Ngaji Youtube

Penulis harus memulai dari curhat hingga berakhir curhat, Meski sasaran tulisan ini ke rubrik esai mojok namun mungkin mas Mulyadi masih pusing membaca tulisan ini. Semua itu karena Mojok Mengajarkan saya NgeLucu dan harus lucu agar para pengikut setia yang doyan ngaji yooutebe nggak ngomong bahwa sepertinya penulis ini kurang ngopi deh. wkwkwk

Saya pernah nyantri, ya meski setelah alumni tidak sekaliber wawasan gus dhofir, gus ulil, gus mus, apatah lagi kalau sebut nama gusdur. Meski pernah ngopi bareng gus ulil pas acara workshop jurnalisme sastrawi yang diadakan Alif.ID, namun bukan jadi rujukan bahwa saya sekaliber wawasan dan secakep gus ulil. Hehehe, ampun gus

Menjadi seorang santri bisa dikata kehidupan yang bercampur suka dan duka, disiplin ibadah adalah kunci utama. Kegiatan rutinitas seperti ngaji kitab, ngaji nahwu dan sharof, ngaji hadis, hafal mufrodat (Kosa kata bahasa arab), tahfizul qur’an adalah disiplin keilmuan yang harus tetap terjaga selama berada dilingkungan pesantren.

Ada satu hal yang terus menjadi pegangan setelah menjadi alumni, nasehat ustad kira-kira bunyinya seperti ini, walau ungkapan tersebut di adopsi dari imam syafi’i, tetapi ungkapan demikian memberi banyak pelajaran, “sekalipun seseorang belajar agama dari lahir sampai mati, itu belum menjadi jaminan ia menguasai ilmu agama sepenuhnya”.

Lantas bagaimana dengan seseorang yang belajar agama sehari misalkan, dua hari, istilah parahnya “Pesantren Kilat” bahkan sama sekali tidak mengetahui persis ihwal kehidupan pondok, kemudian selalu teriak kafir, kafir, kafir. Biasanya sih para pengikut setia yang kecanduan ngaji channel ala mbah yootube.

Menjadi santri itu mudah, namun belajar agama dengan teliti adalah hal yang membutuhkan waktu lama. Wong kalau ceramah ala fir’aun ya gampang, saat berkata kepada pengikutnya (ana robbukumul a’la).

Lah, Kalau al-Gazali mengklasifikasikan manusia menurut kapasitas dan kemampuannya menjadi tiga. Pertama, masyarakat kebanyakan (awwam), kedua, masyarakat elit (khawwas) dan ketiga kelompok ahli debat. (baca : Tahafut Al-Falasifah).

Sepertinya pengklasifikasian ini multi-tafsir tergantung dari para pembaca, pembaca yang setia kepada situs mojok ya mungkin akan terus nyeleneh dan terus nulis meski mojok sudah sampaikan bahwa tulisan yang tak dikonfirmasi dalam tiga hari bisa diterbitkan di media lain. Ya, mudah-mudahan saja redaktur mojok terhibur dengan tulisan ini. Banyak doa aja kata bang doel di blog pribadinya.

Pengklasifikasian di atas kurang lebih pengertiannya seperti ini, kalau masyarakat awwam mereka para pencari keselamatan yang memiliki kapasitas pengetahuan rendah, kalau masyarakat khawwas mereka memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati, dan yang terakhir adalah kelompok debat, mereka lebih tinggi dari kelas masyarakat kebanyakan namun kecerdasannya kurang. Meski mojok sudah mengatakan ya debatnya dihentikan dulu, waktunya sholawatan. hehehe

Gelar ustad ramai jadi perbincangan khalayak, ceramah, khutbah, sekali dua kali sudah mendapat gelar ustad. Ya, katanya ustad rohmatanlilalamin. untung-untung kalau isi ceramahnya bukan ujaran kebencian, yang lebih parah kalau selalu meneriakkan jihad, kafir dan lain sebagainya. Ya, ustad kayak gini wajarlah menyandang gelar ustad rohmatanlilkafirin, atau ustad rohmatanliljihadin.

Saya heran, kebanyakan pengikut setia ini sepertinya kurang ngopi sambil duduk menikmati tulisan-tulisan satire mojok yang nyeleneh namun unik. Penulis sendiri meski tak terus mengikuti tulisan-tulisan mojok tapi insya alloh dunia akhirat mojok barokah. Saya fans dengan tulisan-tulisan mba’Khalish Mardiasih dan Gus Ulil yang di muat di rubrik mojok.

Mengukur pengikut dan penyikut setia yang menabrak dinding bisa dilihat sampai sedoyan mana mereka ngaji youtube, share tulisan, meski judul buku gus nadir saring sebelum sharing sudah terpampang, tetap aja ikut di sebarkan di medsos, bahkan berorasinya pun melalui media sosial.

Beberapa bulan yang lalu saya sempat di kirimin video ceramah melalui via whatsapp oleh saudara perempuan kandung saya, video ceramahnya berisi seputar kebencian terhadap PKI.
Lalu pesan itu saya balas “Wah, Bukannya PKI sudah Mati?”, “PKI masih hidup, kafir, dan pengrusak Negara” balasnya. Dalam hati saya berkata oh, begitu rupanya. Saya pun lanjut membalas dengan nada bertanya ples memancing kekhawatiran para ibu-ibu “Kalau video yang membolehkan berpoligami, Ada?”, sepertinya dugaanku benar, kalau nggak meronta-ronta pasti diam seribu bahasa. Rupanya pesan via whatsapp tersebut menutup diskusi kami tanpa balasan apa-apa.. wkwkwwk

Sedikit bercerita, ayo di baca. Pembukaan kalimat di atas sudah di jujur kok, bahwa tulisan ini akan berakhir curhat juga. hehehe

Perjalanan dari pelabuhan tanjung priok menuju Makassar desember 2019 yang lalu membuat saya mengenal bang daniel, bang daniel ini perantau dari ambon yang telah lama merantau di Jakarta,bang daniel sendiri dari agama nasrani. tapi sumpah, ceritanya membuat saya tak henti-hentinya membakar beberapa batang rokok. Namun karena rokok di kapal mahal, ya harus nyelinap mengisap rokok bang daniel. Hehehe

Bang daniel bercerita banyak, tapi saya ceritakan sedikit saja, khawatirnya nanti para tim editing matanya berkaca-kaca kalau harus menulis semuanya. Wkwkwk

Bang daniel bertanya ke saya. Mas, kenapa yah kalau ummat islam ikut natalan di sebut kafir?. Wah, pertanyaan ini berat, karena saya bukan pengikut setia yang harus menjawabnya tanpa landasan dan sumber referensi dari mbah’ youtube, maka saya pun memikirkan jawabannya agak sedikit lama. melihat bang daniel yang mulai terlihat lesuh dengan isi rokoknya yang semakin menipis, saya pun memberanikan diri menjawabnya untuk menutupi rasa bersalah akibat menghisap beberapa batang rokoknya.. hehehehe

Begini bang, mengapa mereka menyebut kafir, karena mereka pengikut setia, ya takutnya nanti dikira nggak Nge-subscribe channel youtube si ustadnya.