ARTIKEL: ANALISIS KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MENGGUNAKAN BAHASA DAERAH LUWU BERDASARKAN SKALA PENGUKURAN DAN WAWANCARA
ANALISIS KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MENGGUNAKAN BAHASA DAERAH LUWU BERDASARKAN SKALA PENGUKURAN DAN WAWANCARA
Mukarramah1 ,Nur Fadillah Minda2 ,Jerni Patila3 ,Fadillah Azzahra4
Universitas Islam Negri Palopo
penulis korespodensi: amamukarramah04@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa daerah Luwu secara kuantitatif dengan pendekatan berbasis angket. Bahasa daerah sebagai warisan budaya memiliki peran penting dalam membentuk identitas lokal. Namun, pengaruh globalisasi menyebabkan penurunan penggunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan angket sebagai instrumen pengumpulan data. Instrumen dikembangkan berdasarkan teori kompetensi kebahasaan oleh Canale dan Swain (1980) serta Hymes (1972). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala Likert dan skala penilaian 1-100. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa daerah Luwu mahasiswa berada pada kategori sedang. Wawancara memperkuat temuan bahwa penggunaan bahasa daerah terbatas pada situasi informal dan dalam keluarga. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan pentingnya integrasi bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan tinggi serta pengembangan media pembelajaran berbasis digital.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sarana utama dalam membangun, mempertahankan, dan mewariskan peradaban manusia. Dalam konteks kebudayaan, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas dan jati diri suatu komunitas. Bahasa daerah, sebagai bagian integral dari budaya lokal, menyimpan nilai-nilai historis, adat istiadat, dan kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat. Salah satu bahasa daerah yang kaya akan makna budaya dan sejarah adalah bahasa daerah Luwu, yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan. Bahasa ini merepresentasikan identitas kolektif masyarakat Luwu dan menjadi sarana pewarisan nilai-nilai leluhur.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi penurunan signifikan dalam penggunaan bahasa daerah Luwu, terutama di kalangan generasi muda dan mahasiswa. Globalisasi, perkembangan teknologi, serta dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing di ruang publik dan pendidikan telah menyebabkan pergeseran penggunaan bahasa. Fenomena ini mengindikasikan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yaitu keadaan di mana suatu komunitas bahasa mulai meninggalkan bahasa aslinya dan beralih menggunakan bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa daerah Luwu tidak luput dari ancaman ini. Dalam percakapan informal maupun formal, mahasiswa cenderung lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing karena dianggap lebih praktis, modern, dan relevan dengan konteks kekinian.
Realitas ini menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan bahasa daerah Luwu sebagai warisan budaya. Mahasiswa, sebagai generasi terdidik dan calon pemimpin masa depan, memiliki peran strategis dalam menjaga dan melestarikan bahasa daerah. Sayangnya, hasil pengamatan awal menunjukkan bahwa tidak sedikit dari mereka yang memiliki keterbatasan dalam memahami, apalagi menggunakan bahasa daerah Luwu dengan baik dan benar. Hal ini memunculkan pertanyaan penting mengenai kemampuan linguistik mahasiswa dalam menggunakan bahasa daerah Luwu, khususnya pada aspek fonologi (bunyi), morfologi (struktur kata), sintaksis (struktur kalimat), semantik (makna), dan pragmatik (penggunaan bahasa dalam konteks sosial).
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar terkait kondisi bahasa daerah Luwu di kalangan mahasiswa. Penelitian ini tidak hanya ingin mengukur sejauh mana mahasiswa mampu menggunakan bahasa tersebut, tetapi juga ingin mengungkap faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa mereka, baik dari aspek internal seperti motivasi, latar belakang keluarga, dan pendidikan, maupun dari aspek eksternal seperti lingkungan sosial, media, dan kebijakan pendidikan. Di samping itu, penelitian ini juga penting untuk memahami bagaimana persepsi mahasiswa terhadap pentingnya mempertahankan bahasa daerah Luwu, apakah mereka menyadari nilai penting dari bahasa tersebut dalam kehidupan budaya dan identitas lokal, atau justru menganggapnya tidak lagi relevan di era modern. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan instrumen berupa kuesioner/angket, dan wawancara terstruktur. Melalui pendekatan ini, diperoleh data yang terukur dan dapat dianalisis secara statistik untuk melihat pola, hubungan, dan pengaruh antarvariabel. Penelitian ini berfokus pada tiga aspek utama: (1) kemampuan mahasiswa menggunakan bahasa daerah Luwu (2) faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemampuan tersebut; dan (3) persepsi mahasiswa terhadap pentingnya pelestarian bahasa daerah.
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah literatur, khususnya kajian sosiolinguistik dan pelestarian bahasa daerah. Penelitian ini juga berkontribusi pada pemahaman akademik tentang kondisi bahasa lokal dalam menghadapi era globalisasi. Secara praktis, penelitian ini memberikan data empiris yang bermanfaat bagi lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas budaya dalam menyusun program atau kebijakan strategis untuk mendorong pelestarian bahasa daerah Luwu, baik melalui kurikulum lokal, kegiatan ekstrakurikuler, maupun penguatan kesadaran budaya di lingkungan pendidikan tinggi.
Dengan mengkaji secara mendalam kemampuan berbahasa mahasiswa, faktor-faktor yang memengaruhi, dan persepsi mereka terhadap bahasa daerah Luwu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rambu awal untuk merumuskan strategi pelestarian bahasa yang lebih efektif, kontekstual, dan berbasis data. Karena pada akhirnya, pelestarian bahasa daerah bukan hanya tentang mempertahankan bunyi dan kata, tetapi juga tentang mempertahankan jati diri, harga diri, dan keberlanjutan budaya suatu masyarakat di tengah arus zaman yang terus berubah.
KAJIAN PUSTAKA
1. Kompetensi Komunikatif
Konsep kompetensi komunikatif pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (1972) sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan linguistik struktural Noam Chomsky yang hanya menekankan pada kompetensi linguistik (gramatikal). Hymes menambahkan bahwa kemampuan berbahasa tidak hanya diukur dari penguasaan struktur bahasa, tetapi juga dari kemampuan seseorang menggunakan bahasa secara tepat dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Dalam konteks ini, kompetensi komunikatif mencakup pengetahuan tentang kapan, di mana, dan kepada siapa suatu bentuk bahasa digunakan secara tepat.
Kompetensi komunikatif memiliki peran penting dalam memahami bagaimana bahasa daerah seperti bahasa Luwu dipraktikkan di kalangan mahasiswa. Tidak cukup hanya memahami tata bahasa atau struktur linguistiknya, mahasiswa juga harus mampu menyesuaikan penggunaan bahasa tersebut dengan konteks sosial, seperti berbicara kepada orang tua, teman sebaya, atau tokoh masyarakat. Penurunan penggunaan bahasa daerah sering kali berkaitan dengan melemahnya fungsi sosial bahasa tersebut, sehingga penguatan kompetensi komunikatif menjadi salah satu strategi pelestarian yang esensial.
2. Model Kompetensi Canale dan Swain (1980)
Memperluas pandangan Hymes, Canale dan Swain (1980) mengembangkan model kompetensi komunikatif yang lebih sistematis dengan membaginya menjadi empat komponen utama, yaitu:
Kompetensi Gramatikal: mencakup kemampuan memahami dan menggunakan aturan tata bahasa, morfologi, fonologi, dan sintaksis yang benar.
Kompetensi Sosiolinguistik: berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa sesuai dengan konteks sosial tertentu, seperti bentuk sapaan, gaya bicara, atau tingkat kesopanan.
Kompetensi Strategis: mengacu pada kemampuan beradaptasi dalam komunikasi, seperti strategi memperjelas makna, memperbaiki kesalahan, atau mengatasi keterbatasan linguistik.
Kompetensi Diskursus: berkaitan dengan kemampuan mengatur ujaran secara koheren dan kohesif dalam suatu wacana atau teks.
Model ini relevan dengan analisis kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa daerah Luwu karena memungkinkan peneliti mengidentifikasi kemampuan linguistik secara komprehensif, mulai dari aspek teknis (gramatikal) hingga kontekstual (sosiolinguistik dan diskursus). Dalam penelitian ini, lima aspek linguistik yang diteliti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik dapat dikelompokkan dalam komponen-komponen kompetensi komunikatif ini.
3. Pelestarian Bahasa Daerah
Bahasa daerah merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Namun, dalam era globalisasi dan dominasi bahasa nasional maupun internasional, bahasa daerah menghadapi ancaman nyata berupa pergeseran dan kepunahan. Joshua Fishman (1991) menawarkan delapan tahap model pelestarian bahasa yang bertujuan untuk membalikkan proses pergeseran bahasa (reversing language shift). Model ini memberikan panduan konkret tentang bagaimana pelestarian bahasa dapat dilakukan, mulai dari penggunaan bahasa di rumah tangga hingga institusionalisasi di lembaga formal.
Delapan tahap Fishman meliputi:
Transmisi antar generasi (bahasa digunakan di rumah).
Penggunaan di kalangan anak-anak.
Penggunaan di masyarakat lokal.
Pengembangan literasi dasar.
Institusionalisasi di sekolah.
Penggunaan di media massa.
Penggunaan di sektor kerja dan pemerintahan.
Standarisasi dan modernisasi.
Dalam konteks mahasiswa, model Fishman dapat digunakan untuk memahami posisi bahasa Luwu di antara delapan tahap tersebut. Apakah bahasa masih digunakan dalam keluarga? Apakah mahasiswa merasa penting untuk meneruskan bahasa tersebut kepada generasi selanjutnya? Dengan memahami posisi bahasa Luwu dalam tahapan ini, strategi pelestarian dapat dirancang secara lebih tepat.
Penelitian ini penting untuk mengukur sejauh mana mahasiswa sebagai generasi muda memiliki kemampuan berbahasa daerah dan bagaimana persepsi mereka terhadap pelestariannya. Hal ini menjadi dasar untuk mempertimbangkan strategi pelestarian yang efektif di lingkungan pendidikan tinggi dan masyarakat secara luas.
4. Metode Penelitian Kuantitatif
Dalam meneliti fenomena sosial dan linguistik seperti kemampuan berbahasa, pendekatan kuantitatif menjadi salah satu metode yang dapat memberikan hasil yang objektif. Menurut Sugiyono (2017), penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bersifat sistematis, menggunakan data numerik, serta bertujuan menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan penelitian secara statistik.
Sugiyono menjelaskan bahwa instrumen dalam penelitian kuantitatif dapat berupa:
Kuesioner/angket: digunakan untuk mengukur persepsi, sikap, atau pemahaman subjek terhadap suatu fenomena.
Skala pengukuran: seperti skala Likert, digunakan untuk menilai tingkat persetujuan, frekuensi, atau kualitas.
Wawancara: sebagai pelengkap untuk mendapatkan data verbal yang dapat dikuantifikasi atau dianalisis deskriptif.
Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur kemampuan linguistik mahasiswa dalam menggunakan bahasa Luwu terhadap pelestarian bahasa melalui angket dan wawancara terstruktur. Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih luas dan mendalam terkait kemampuan dan sikap mahasiswa terhadap bahasa daerah mereka.
Penutup Kajian Pustaka
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, penelitian ini berpijak pada pendekatan linguistik terapan dan sosiolinguistik yang kuat. Dengan menggabungkan teori kompetensi komunikatif, model kompetensi Canale & Swain, strategi pelestarian bahasa Fishman, serta metode kuantitatif menurut Sugiyono, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan literatur ilmiah mengenai pelestarian bahasa daerah dan implementasinya di dunia pendidikan, khususnya pada tingkat mahasiswa.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi objektif berdasarkan data yang dikumpulkan dari responden melalui instrumen terstandar. Pendekatan kuantitatif dipilih karena dinilai paling tepat untuk mengukur kemampuan berbahasa daerah Luwu mahasiswa secara sistematis dan terukur, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan tersebut. Dengan metode ini, data numerik yang diperoleh dapat dianalisis secara statistik untuk menarik kesimpulan umum dan mendalam mengenai objek yang diteliti.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yang berupaya menjelaskan tingkat kemampuan berbahasa mahasiswa serta memahami persepsi mahasiswa terhadap pentingnya pelestarian bahasa daerah Luwu.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo, Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih karena UIN Palopo merupakan institusi pendidikan tinggi yang mahasiswanya sebagian besar berasal dari wilayah Luwu Raya. Kampus ini juga dianggap representatif dalam hal keberagaman latar belakang mahasiswa, yang memungkinkan peneliti menemukan responden yang relevan dengan kebutuhan penelitian ini.
Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan Selama Tanggal 27, Bulan Mai sampai Tanggal 15 Juni 2025, yang meliputi tahap penyusunan instrumen, validasi, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif UIN Palopo yang berasal dari wilayah Luwu Raya, yaitu Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo. Mahasiswa dari wilayah ini diasumsikan memiliki akses dan latar belakang budaya yang bersinggungan langsung dengan penggunaan bahasa daerah Luwu, baik di lingkungan keluarga, komunitas, maupun kehidupan sehari-hari.
Untuk menentukan sampel, digunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan tujuan dan pertimbangan tertentu. Adapun kriteria pemilihan sampel sebagai berikut:
Mahasiswa aktif semester 2–8.
Memiliki latar belakang keluarga yang menggunakan bahasa daerah Luwu di lingkungan rumah.
Pernah atau masih menggunakan bahasa daerah Luwu dalam konteks komunikasi sosial.
Jumlah sampel yang ditetapkan sebanyak 100 orang mahasiswa. Jumlah ini dianggap representatif untuk menggambarkan populasi target dan memberikan data yang cukup untuk dianalisis secara statistik.
4. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, instrumen utama yang digunakan mengacu pada teknik pengumpulan data kuantitatif, yakni:
a. Kuesioner / Angket
Angket disusun menggunakan skala Likert 4 poin, untuk mengetahui frekuensi, sikap, dan persepsi mahasiswa terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa daerah Luwu. Skor skala berkisar antara:
4 = Sangat Setuju / Selalu
3 = Setuju / Sering
2 = Tidak Setuju / Kadang-kadang
1 = Sangat Tidak Setuju / Tidak Pernah
Indikator dalam angket meliputi:
Frekuensi penggunaan bahasa Luwu dalam konteks keluarga, kampus, dan sosial.
Sikap terhadap bahasa daerah, seperti rasa bangga, minat belajar, dan identitas budaya.
Persepsi tentang pelestarian bahasa daerah, termasuk pentingnya pengajaran bahasa daerah di kampus dan komunitas.
b. Wawancara Terstruktur
Wawancara dilakukan terhadap sejumlah responden terpilih (10 orang) yang menunjukkan penggunaan aktif atau pasif bahasa daerah. Pertanyaan wawancara mencakup:
Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Wawancara ini bertujuan memperdalam temuan dari angket dan tes dengan menggali informasi kontekstual dari masing-masing responden.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari angket dan tes dianalisis menggunakan statistik deskriptif, seperti rata-rata, persentase. dan wawancara dianalisis secara kualitatif deskriptif, yaitu mengelompokkan jawaban ke dalam kategori tertentu yang sesuai dengan indikator penelitian.
Langkah-langkah analisis:
Hasil berupa diagram dari angket dalam bentuk tabel distribusi.
Penyajian hasil wawancara untuk memperkaya temuan numerik dengan narasi tematik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Kuesioner / Angket
1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Diagram 1.1
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 100 responden, 59% adalah perempuan dan 41% laki-laki. Ini menandakan partisipasi perempuan dalam pengisian kuesioner lebih tinggi. Dominasi ini dapat memengaruhi hasil analisis, khususnya jika ada perbedaan persepsi atau sikap antar gender terkait topik penelitian.
2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Diagram 1.2
Usia responden didominasi oleh kelompok usia 20 tahun (32%) dan 19 tahun (28%), diikuti usia 21 dan 22 tahun masing-masing 13%. Usia lainnya adalah 18 tahun (9%), serta data ganda atau keliru (usia 19 dan 20 disebut dua kali). Mayoritas berada di rentang usia 19–22 tahun, menunjukkan responden adalah kalangan mahasiswa muda yang relevan dengan fokus penelitian.
3. Distribusi Semester Responden
Diagram 1.3
Sebagian besar responden berada pada semester 4 (50%) dan semester 2 (35%). Semester 6 (8%) dan semester 8 (6%), dengan 1% responden memasukkan data yang tidak valid (“Dua”). Data ini menunjukkan mayoritas responden berada di semester aktif yang cocok sebagai objek penelitian.
B. Hasil Angket
Tabel 1.4
Distribusi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kuesioner menunjukkan bahwa:
Rata-rata tingkat persetujuan tinggi (selalu/sangat setuju dan sering/setuju) berada di angka 57,53%, menunjukkan kecenderungan positif terhadap penggunaan dan pelestarian Bahasa Luwu.
Tingkat ketidaksetujuan (kadang-kadang dan tidak pernah) masih cukup tinggi, rata-rata 45,13%, mencerminkan adanya potensi penurunan penggunaan bahasa daerah ini.
C. Analisis Frekuensi Penggunaan Bahasa Luwu
1. Penggunaan Bahasa Luwu di Lingkungan Keluarga
Diagram 2.1
Penggunaan Bahasa Luwu di rumah cukup rendah; hanya 37% responden yang sering atau selalu menggunakannya. Sisanya (63%) jarang atau tidak pernah menggunakan, menunjukkan mulai berkurangnya transmisi bahasa antar generasi dalam keluarga.
2. Penggunaan Bahasa Luwu dalam Percakapan Santai
Diagram 2.2
Sebanyak 54% responden aktif menggunakan Bahasa Luwu bersama teman, lebih tinggi dibanding penggunaan dalam keluarga. Ini menunjukkan adanya peran solidaritas kelompok dalam mempertahankan bahasa daerah.
3. Keterlibatan dalam Organisasi Berbasis Bahasa Luwu
Diagram 2.3
Responden yang aktif dalam organisasi yang menggunakan Bahasa Luwu sebesar 47%, sedangkan 53% kurang atau tidak terlibat. Hal ini mencerminkan perlunya wadah organisasi yang mempromosikan bahasa daerah secara aktif.
4. Penggunaan Bahasa Luwu di Lingkungan Tempat Tinggal
Diagram 2.4
Penggunaan Bahasa Luwu dalam lingkungan tempat tinggal relatif tinggi, 61% menyatakan aktif menggunakannya. Ini menunjukkan bahwa konteks komunitas lokal masih menjadi tempat penting bagi eksistensi bahasa daerah.
5. Preferensi Bahasa dalam Komunikasi Informal
Diagram 2.5
Sebanyak 53% responden lebih memilih Bahasa Luwu dalam komunikasi informal. Meskipun tipis, ini menunjukkan Bahasa Luwu masih dipandang relevan dalam konteks sosial sehari-hari.
D. Sikap terhadap Bahasa Daerah
1. Kebanggaan Menjadi Penutur Bahasa Luwu
Diagram 3.1
Sebanyak 59% responden merasa bangga menjadi penutur Bahasa Luwu, meski masih ada 41% yang merasa kurang atau tidak bangga. Ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam kesadaran identitas budaya.
2. Bahasa Luwu sebagai Identitas
Diagram 3.2
Sebanyak 69% responden menganggap Bahasa Luwu sebagai bagian penting dari identitas mereka. Ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap nilai budaya yang melekat pada bahasa daerah.
3. Keinginan Mempelajari Bahasa Luwu
Diagram 3.3
Sebanyak 65% responden memiliki keinginan untuk mempelajari Bahasa Luwu lebih lanjut. Ini merupakan peluang besar bagi upaya pelestarian bahasa melalui pendidikan atau pelatihan.
4. Pewarisan Bahasa ke Generasi Berikutnya
Diagram 3.4
Sebanyak 56% responden merasa perlu mengajarkan Bahasa Luwu kepada generasi berikutnya, menunjukkan adanya kesadaran terhadap pentingnya pelestarian bahasa dalam jangka panjang.
5. Komitmen terhadap Bahasa Luwu di Lingkungan Berbahasa Indonesia
Diagram 3.5
Sebanyak 55% responden tetap ingin mempertahankan Bahasa Luwu meskipun berada di lingkungan berbahasa Indonesia, mencerminkan sikap positif terhadap pelestarian bahasa di tengah arus bahasa dominan.
E. Persepsi terhadap Pelestarian Bahasa Daerah
1. Pengajaran Bahasa Luwu di Kampus
Diagram 4.1
Mayoritas responden (63%) mendukung pengajaran Bahasa Luwu di lingkungan kampus. Ini menunjukkan potensi integrasi bahasa daerah ke dalam pendidikan formal sebagai upaya pelestarian.
2. Pelestarian Berbahasa Daerah adalah Tanggung Jawab Generasi Muda
Diagram 4.2
Diagram 4.2 Tujuan dari survei ini adalah untuk mengetahui sejauh mana generasi muda dianggap memiliki peran penting dalam upaya pelestarian bahasa daerah, khususnya Bahasa Luwu. Berdasarkan diagram lingkaran tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden, yaitu 37% (warna kuning) menyatakan cukup setuju bahwa generasi muda memiliki tanggung jawab dalam pelestarian bahasa daerah. Sementara itu, 33% responden (warna merah) menyatakan setuju. Jika dijumlahkan, terdapat 70% responden yang menunjukkan tingkat persetujuan yang tinggi terhadap pernyataan tersebut.
Di sisi lain, 16% responden (warna biru) menyatakan sangat setuju, dan 14% responden (warna hijau) menyatakan tidak setuju. Meskipun proporsi yang tidak setuju tergolong kecil, hal ini tetap menjadi perhatian penting karena menunjukkan adanya sebagian masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari peran generasi muda dalam menjaga kelangsungan bahasa daerah. Secara keseluruhan, hasil survei ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung peran aktif generasi muda dalam pelestarian bahasa daerah. Hal ini menjadi dasar penting bagi lembaga pendidikan dan pemerintah daerah untuk mengembangkan program yang dapat memberdayakan generasi muda sebagai agen pelestari budaya dan bahasa lokal.
3. Saya Mendukung Adanya Kegiatan Kampus yang Mempromosikan Bahasa dan Budaya Luwu
Diagram 4.3
Diagram 4.3 Diagram ini berdasarkan dari 100 responden yang memberikan jawaban mereka terhadap pentingnya keterlibatan institusi pendidikan, khususnya kampus, dalam pelestarian bahasa dan budaya lokal. Hasil dari diagram lingkaran menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu 33% (warna merah), setuju terhadap adanya dukungan terhadap kegiatan kampus yang berkaitan dengan promosi bahasa dan budaya Luwu. Sementara 28% responden (warna biru) menyatakan sangat setuju. Dengan demikian, total responden yang mendukung (sangat setuju dan setuju) mencapai 61%, yang menunjukkan antusiasme cukup tinggi terhadap pelestarian budaya lokal melalui kegiatan kampus.
Sebaliknya, 31% responden (warna kuning) menjawab cukup setuju, menandakan bahwa masih ada sebagian yang bersikap netral atau butuh dorongan lebih lanjut. Sementara 8% responden (warna hijau) menyatakan tidak setuju, angka yang relatif kecil namun tetap penting untuk diperhatikan dalam upaya penyempurnaan strategi promosi budaya di lingkungan pendidikan. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa atau masyarakat kampus mendukung kegiatan promosi bahasa dan budaya Luwu. Hal ini menjadi sinyal positif bagi pihak kampus untuk lebih aktif mengadakan program-program pelestarian budaya, seperti festival budaya, seminar, pelatihan bahasa, dan lain sebagainya. Dengan dukungan kuat dari lingkungan akademik, pelestarian bahasa dan budaya lokal akan lebih terarah dan berkelanjutan.
4. Bahasa Daerah Akan Punah Jika Tidak Dilestarikan Secara Aktif
Diagram 4.4
Diagram 4.4 Dari total 100 responden, diagram lingkaran ini menunjukkan bahwa mayoritas menyadari pentingnya pelestarian bahasa daerah secara aktif. Sebanyak 43% responden (warna merah) menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan 23% responden (warna biru) menyatakan sangat setuju. Dengan demikian, total 66% responden menunjukkan sikap positif terhadap pentingnya pelestarian bahasa daerah agar tidak punah. Hal ini menunjukkan bahwa dua pertiga dari peserta survei memiliki kesadaran tinggi terhadap ancaman kepunahan bahasa daerah jika tidak dilestarikan dengan upaya konkret.
Sementara itu, 26% responden (warna kuning) menjawab cukup setuju, yang bisa diartikan sebagai kelompok yang masih membutuhkan pemahaman lebih lanjut atau tindakan nyata sebelum menyatakan persetujuan penuh. Sebaliknya, hanya 8% responden (warna hijau) yang menyatakan tidak setuju, angka yang relatif kecil dan menunjukkan bahwa penolakan terhadap gagasan ini sangat minor. Hasil ini menegaskan pentingnya tindakan aktif dan partisipatif dalam pelestarian bahasa daerah. Kampus, komunitas, dan pemerintah daerah dapat menjadikan temuan ini sebagai dasar untuk mengembangkan program pelestarian bahasa, seperti pendidikan bahasa lokal, dokumentasi budaya, dan kampanye kesadaran linguistik bagi generasi muda.
5. Saya Percaya Menggunakan Bahasa Luwu di Media Sosial Dapat Membantu Pelestariannya
Diagram 4.5
Diagram 4.5 Survei ini melibatkan 100 responden, yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk diagram lingkaran dengan empat pilihan tanggapan. Sebagian besar responden, yaitu 38% (warna merah) menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut, yang menunjukkan adanya kesadaran tinggi bahwa penggunaan bahasa Luwu di media sosial bisa menjadi salah satu upaya pelestarian yang efektif. Selanjutnya, 17% responden (warna biru) sangat setuju, menegaskan bahwa sebagian generasi muda memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian bahasa melalui platform digital.
Sebanyak 30% responden (warna kuning) menjawab cukup setuju. Kelompok ini kemungkinan masih dalam tahap adaptasi atau belum sepenuhnya yakin dengan efektivitas media sosial sebagai alat pelestarian bahasa. Sedangkan 15% responden (warna hijau) menyatakan tidak setuju, yang menunjukkan bahwa masih ada sebagian kecil masyarakat yang meragukan kontribusi media sosial terhadap pelestarian bahasa daerah. Hasil ini mengindikasikan bahwa media sosial dapat menjadi sarana yang potensial dalam menjaga eksistensi bahasa Luwu. Dengan mendorong penggunaan bahasa daerah dalam konten digital, pelestarian budaya lokal dapat menjangkau generasi muda secara luas dan berkelanjutan.
B.Wawancara Terstruktur
Tabel 5.1 Hasil Wawancara
1. Nur Fadillah
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya berasal dari keluarga campuran. Di rumah, saya sering mendengar bahasa Luwu digunakan, meski tidak setiap hari.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Saya sulit memahami beberapa kosakata yang jarang digunakan, terutama yang berkaitan dengan adat atau tradisi lama.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Sangat penting, apalagi agar generasi muda tidak melupakan jati dirinya sebagai orang Luwu.
2. Ismi Adia Kirani
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Keluarga saya sangat kental budaya Luwu-nya. Sejak kecil saya sudah dibiasakan berbicara dalam bahasa daerah di rumah.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Teman-teman sebaya banyak yang lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia atau campuran, jadi saya jarang punya teman bicara bahasa Luwu.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Saya mendukung adanya pelajaran bahasa daerah di sekolah agar tetap hidup dan tidak punah.
3. Salma
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya tinggal di lingkungan perkotaan, jadi tidak terlalu sering menggunakan bahasa daerah. Orang tua juga tidak terlalu menekankan penggunaannya.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Pengucapan beberapa kata sulit dan saya kurang percaya diri saat berbicara karena takut salah.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Perlu, tapi harus dimulai dari keluarga dulu, supaya anak-anak terbiasa sejak kecil.
4. Rian
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya berasal dari desa di Luwu, jadi penggunaan bahasa daerah masih cukup aktif, terutama di lingkungan tetangga dan masyarakat.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Tantangan terbesar adalah saat harus menerjemahkan ke bahasa Indonesia karena tidak semua kata punya padanan.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Saya sangat mendukung. Harus ada dokumentasi dan media digital yang mengangkat bahasa Luwu.
5. Erwin
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Keluarga saya cukup modern. Bahasa daerah digunakan hanya saat ada acara keluarga besar.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Saya kurang fasih, dan kadang merasa bahasa daerah dianggap kuno oleh sebagian orang muda.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Meski terlihat tua, bahasa daerah adalah identitas. Harus ada usaha dari generasi muda untuk menjaga.
6. Emayanti
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya dari keluarga yang sangat aktif berbahasa daerah, bahkan nenek saya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Terkadang sulit menjelaskan makna kata-kata kepada orang luar yang tidak paham budaya Luwu.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Harus ada program dari pemerintah daerah untuk mengajarkan bahasa ini secara formal dan informal.
7. Hamdia
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya besar di luar Luwu, jadi tidak terlalu banyak terpapar bahasa daerah kecuali saat mudik atau bertemu keluarga besar.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Tidak mengerti banyak kosakata dan struktur kalimat bahasa Luwu yang berbeda dari bahasa Indonesia.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Sangat perlu, bisa lewat media sosial, lagu-lagu, atau konten anak muda supaya menarik.
8. Nikmatur Rahma Darwis
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Ayah saya sangat bangga dengan bahasa Luwu dan selalu mengajak saya bicara dalam bahasa itu sejak kecil.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Tantangan saya adalah tidak semua teman sebaya memahami bahasa ini, jadi saya jarang menggunakannya di luar rumah.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah?
Perlu generasi muda yang jadi duta bahasa daerah, supaya bisa mempromosikannya di lingkungan sekolah dan kampus.
9. Satriani
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Lingkungan saya cukup heterogen, ada campuran suku, jadi penggunaan bahasa Luwu tidak dominan.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?Saya kadang mencampur bahasa Luwu dengan bahasa lain seperti Bugis, jadi tidak konsisten.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah? Bisa dilakukan dengan membuat kamus digital atau aplikasi belajar bahasa Luwu.
10. Nurainun
1. Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan bahasa Anda?
Saya lahir dan besar di Luwu, jadi bahasa daerah sudah menjadi bahasa sehari-hari di rumah.
2. Apa tantangan terbesar Anda dalam menggunakan bahasa daerah Luwu?
Tantangan saya adalah saat merantau, saya tidak bisa menggunakan bahasa Luwu lagi, jadi mulai lupa.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang pelestarian bahasa daerah? Perlu revitalisasi di sekolah dan komunitas, agar bahasa ini tetap hidup di era digital.
1. Latar Belakang Keluarga dan Lingkungan Bahasa
Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka tumbuh di lingkungan yang masih mengenal bahasa daerah Luwu, meskipun tidak semua menggunakannya secara aktif. Contohnya, Nur Fadillah dan Nikmatur Rahma Darwis mengaku bahwa di keluarga mereka, bahasa Luwu masih digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama oleh orang tua atau kakek-nenek. Rian dan Nurainun juga mengatakan bahwa di kampung mereka, bahasa ini masih digunakan dalam berbagai acara adat maupun pertemuan warga.
Namun, ada juga yang menyampaikan bahwa penggunaan bahasa daerah sudah mulai berkurang. Hamdia, Emayanti, dan Erwin menyebutkan bahwa di lingkungan tempat tinggal mereka, khususnya di kota, bahasa Indonesia lebih dominan digunakan, sehingga mereka kurang terpapar bahasa daerah Luwu sejak kecil.
2. Tantangan Terbesar dalam Menggunakan Bahasa Daerah Luwu
Tantangan utama yang dihadapi oleh para responden adalah keterbatasan kosakata, rasa tidak percaya diri saat berbicara, dan tidak adanya teman sebaya yang bisa diajak berkomunikasi dalam bahasa Luwu. Salma mengaku sering kali merasa ragu menggunakan bahasa Luwu karena takut salah arti atau pengucapan. Satriani juga menyampaikan bahwa ia kerap mencampur bahasa Luwu dengan bahasa Bugis dan Indonesia, sehingga tidak konsisten dalam penggunaannya.
Selain itu, beberapa responden merasa bahwa bahasa daerah semakin sulit digunakan karena tidak diajarkan secara sistematis di sekolah. Ismi Adia Kirani menyampaikan bahwa pentingnya lingkungan yang mendukung, karena tanpa itu, bahasa daerah akan sulit dipelajari dan dipertahankan oleh generasi muda.
3. Pandangan tentang Pelestarian Bahasa Daerah
Meskipun menghadapi banyak tantangan, seluruh responden sepakat bahwa pelestarian bahasa daerah Luwu sangat penting. Mereka melihat bahasa daerah sebagai bagian dari jati diri, budaya, dan sejarah yang harus dijaga. Nikmatur Rahma menyarankan adanya program duta bahasa dari kalangan pelajar untuk mempromosikan bahasa Luwu di sekolah dan komunitas. Hamdia mengusulkan agar pelestarian bahasa dilakukan melalui media sosial, musik, dan konten digital yang dekat dengan kehidupan anak muda.
Sementara itu, Rian dan Nurainun menyarankan agar dibuat kamus digital dan aplikasi pembelajaran bahasa Luwu untuk mempermudah proses belajar. Ada pula yang menekankan pentingnya peran keluarga, seperti Nur Fadillah, yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa daerah harus dimulai dari rumah agar menjadi kebiasaan sejak kecil.
KESIMPULAN
Bahasa daerah merupakan bagian penting dari identitas budaya suatu masyarakat. Di tengah arus globalisasi dan dominasi bahasa nasional maupun internasional, peran serta generasi muda dalam melestarikan bahasa daerah menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa daerah Luwu, serta faktor-faktor yang memengaruhinya, dan persepsi mereka terhadap pentingnya mempertahankan bahasa daerah, menjadi isu yang menarik untuk dikaji. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis terhadap tiga rumusan masalah yang diajukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting:
1. Kemampuan Mahasiswa dalam Menggunakan Bahasa Daerah Luwu
Secara umum, kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa daerah Luwu menunjukkan variasi yang cukup besar. Sebagian mahasiswa masih cukup aktif menggunakan bahasa daerah Luwu dalam percakapan sehari-hari, khususnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang juga menggunakan bahasa tersebut. Mereka mampu memahami kosakata dasar, struktur kalimat sederhana, serta makna dalam konteks budaya lokal. Namun demikian, kemampuan ini cenderung terbatas pada aspek lisan saja, dan belum menyentuh pada kemampuan menulis atau membaca dalam bahasa daerah. Di sisi lain, terdapat juga kelompok mahasiswa yang mengalami penurunan signifikan dalam penguasaan bahasa daerah Luwu. Hal ini ditandai dengan ketidaktahuan terhadap banyak kosakata, ketidakmampuan menyusun kalimat secara benar, serta kurangnya keberanian untuk menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi sehari-hari. Beberapa dari mereka hanya memahami sebagian bahasa daerah karena masih mendengarnya dari orang tua atau kakek-nenek, tetapi jarang atau tidak pernah menggunakannya secara aktif.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemampuan Berbahasa Daerah Luwu Mahasiswa
Tingkat kemampuan mahasiswa dalam berbahasa daerah Luwu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama adalah lingkungan keluarga. Mahasiswa yang berasal dari keluarga yang masih aktif menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, cenderung memiliki kemampuan berbahasa daerah yang lebih baik. Sebaliknya, mahasiswa yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, cenderung memiliki kemampuan bahasa daerah yang rendah.
Selain itu, faktor lokasi geografis dan interaksi sosial juga memainkan peran penting. Mahasiswa yang berasal dari pedesaan atau daerah yang masyarakatnya masih memegang teguh adat dan bahasa daerah, umumnya memiliki kemampuan bahasa daerah yang lebih kuat dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari kota atau daerah yang sudah sangat heterogen. Pendidikan formal juga memiliki peran, meskipun terbatas. Beberapa mahasiswa menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan pembelajaran bahasa daerah secara sistematis di sekolah, yang membuat mereka tidak terbiasa secara akademik dengan bahasa tersebut. Faktor media dan teknologi juga turut mempengaruhi. Arus informasi yang lebih banyak disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing membuat mahasiswa lebih terbiasa dengan penggunaan bahasa-bahasa tersebut daripada bahasa daerah.
3. Persepsi Mahasiswa terhadap Pentingnya Mempertahankan Bahasa Daerah Luwu
Meskipun kemampuan berbahasa daerah Luwu sebagian mahasiswa tergolong rendah, namun mayoritas dari mereka memiliki kesadaran dan persepsi positif terhadap pentingnya mempertahankan bahasa daerah tersebut. Mereka menganggap bahwa bahasa daerah adalah warisan budaya yang harus dijaga agar tidak punah, serta merupakan identitas diri sebagai orang Luwu. Beberapa mahasiswa bahkan menyatakan kekhawatiran bahwa generasi muda saat ini mulai meninggalkan bahasa daerah, sehingga dibutuhkan upaya nyata untuk membangkitkan kembali semangat berbahasa daerah, baik melalui pendidikan, kampanye budaya, maupun kegiatan komunitas. Namun, terdapat juga sebagian mahasiswa yang merasa bahwa bahasa daerah Luwu kurang relevan digunakan di era modern, terutama dalam dunia kerja atau akademik, sehingga mereka merasa tidak perlu menguasainya secara mendalam. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam menumbuhkan kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa terhadap pentingnya pelestarian bahasa daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Mamonto, S., Syahreni, S., Aisyah, S., Yuniarti, Y., Suparmanto, S., Asep, N., … & Ferhadius, E. Pengantar Belajar Bahasa.
Canale, M., & Swain, M. (1980). Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing. Applied Linguistics, 1(1), 1–47. https://doi.org/10.1093/applin/I.1.1
Fishman, J. A. (1991). Reversing language shift: Theoretical and empirical foundations of assistance to threatened languages. Multilingual Matters.
Hymes, D. (1972). On communicative competence. In J. B. Pride & J. Holmes (Eds.), Sociolinguistics (pp. 269–293). Penguin Books.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Tinggalkan Balasan