Lpmgraffity.com-Di tengah lautan informasi yang tak pernah surut, saya sering merasa terjebak dalam kebisingan digital yang datang dari segala arah. Ada satu istilah yang akhir-akhir ini muncul dan benar-benar menggambarkan perasaan itu—brainrot. Secara sederhana, brainrot menggambarkan kondisi di mana otak kita terasa seperti penuh dengan sampah informasi, atau bahkan kosong, akibat kebiasaan mengonsumsi konten yang tak ada habisnya. Fenomena ini terasa semakin nyata di kalangan perempuan, yang tak jarang menjadi target utama dari narasi yang ditawarkan oleh media sosial.
Mungkin kamu juga pernah merasakannya. Berjam-jam scrolling di Instagram atau TikTok, mengikuti video-video yang menampilkan kecantikan luar biasa, gaya hidup ideal, dan peran-peran feminin yang seolah-olah harus dijalani. Rasanya seperti dunia yang terus mendorong kita untuk menjadi seseorang yang sempurna—sebuah narasi yang sering kali tidak kita inginkan, tapi tetap saja kita terjebak di dalamnya.
Apa Itu Brainrot, dan Bagaimana Perempuan Rentan Mengalaminya?
Saya pernah mengalami fase di mana scrolling tanpa tujuan jadi rutinitas harian saya. Coba bayangkan: berjam-jam menonton konten kecantikan, rekomendasi makanan, tips hubungan, dan tren fashion yang datang dan pergi begitu cepat. Semuanya terasa menghibur, namun entah kenapa selalu meninggalkan rasa kosong di dalam hati. Ternyata, itulah yang disebut brainrot.
Bagi perempuan, fenomena ini sangat relevan. Media sosial sering kali membuat kita terjebak dalam standar kecantikan dan kehidupan yang tidak realistis. Misalnya, kita melihat influencer dengan tubuh sempurna, kulit mulus, dan gaya hidup mewah. Dan, tanpa sadar, kita mulai membandingkan diri kita dengan mereka, merasa bahwa diri kita tidak cukup. Seolah-olah kita harus mengikuti standar hidup orang-orang di media sosial. Padahal, kita tidak tahu bahwa di balik layar, banyak dari mereka yang juga berjuang dengan kecemasan dan ketidakamanan yang sama.
Dampak Sosial dan Psikologis Brainrot pada Perempuan
Salah satu hal yang saya sadari adalah betapa brainrot ini bisa merusak pandangan kita terhadap diri sendiri. Konten-konten yang terus mengisi timeline kita sering kali memperkuat narasi bahwa perempuan harus selalu tampak sempurna. Hal ini menciptakan tekanan luar biasa—bukan hanya untuk tampil cantik, melainkan juga untuk hidup dengan standar yang sering kali tidak mampu kita lakukan.
Saya pernah merasakan sendiri bagaimana perasaan cemas itu datang setelah menonton video tentang “body goals” atau “life hacks” yang terasa jauh dari kenyataan saya. Kita jadi terjebak dalam budaya perbandingan yang tidak sehat, dan tanpa sadar, kita mulai menilai diri sendiri berdasarkan ukuran yang ditentukan oleh orang lain. Padahal, kenyataannya, kita semua memiliki perjalanan dan tantangan yang berbeda.
Bagaimana Mengatasi Brainrot?
Setelah menyadari betapa merusaknya efek brainrot, saya mulai mencari cara untuk melawannya. Salah satunya dengan mulai lebih selektif memilih konten yang ingin saya konsumsi. Jika dulu saya selalu terjebak dalam video yang hanya menampilkan sisi glamor hidup, konten receh yang tidak jelas, sekarang saya lebih sering mengikuti akun yang berbagi hal-hal yang bisa memperkaya pengetahuan saya—apakah itu tentang psikologi, buku, atau bahkan cara-cara produktif menghabiskan waktu.
Namun, lebih dari itu, saya mulai memberikan batasan waktu untuk diri sendiri di media sosial. Dulu, saya merasa saya harus terus mengikuti perkembangan terkini, tapi sekarang saya sadar bahwa saya tidak harus selalu “update” dengan tren yang ada. Beberapa hari lalu, saya bahkan mematikan pemberitahuan media sosial agar tidak terus-menerus terganggu. Ternyata, itu membuat saya merasa lebih tenang dan lebih hadir dalam kehidupan nyata.
Penulis: Mutiara Salsabila