Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi, sistem pendidikan di Indonesia—terutama di daerah terpencil—berhadapan dengan tantangan besar dalam menyampaikan materi yang berkualitas. Salah satu kisah nyata yang mencerminkan semangat tersebut datang dari SD Buntu Lumu, sebuah sekolah di desa terpencil di Sulawesi Selatan.
Perjalanan Panjang Menuju Pendidikan
Sekolah SD Buntu Lumu, yang terletak di Kecamatan Burau, Kabupaten Luwu Timur, menjadi saksi perjuangan anak-anak yang harus menempuh perjalanan lebih dari 5 jam untuk mendapatkan pendidikan. Jalan yang terjal, berlumpur, dan tak terawat menjadi tantangan fisik yang harus dihadapi. Beberapa siswa bahkan memilih untuk tidak memakai alas kaki, menerjang medan berat demi mencapai bangku sekolah.
Meski berada di daerah yang sangat terpencil, semangat para siswa SD Buntu Lumu untuk menuntut ilmu tetap tinggi. Mereka datang dari rumah-rumah yang jauh dan menempuh perjalanan yang panjang, meski sekolah hanya memiliki tiga ruang kelas yang tidak memadai. Hanya ada dua tenaga pengajar untuk 20 siswa, dan fasilitasnya terbatas. Meskipun begitu, mereka terus belajar dengan tekad yang kuat. Ini adalah gambaran nyata tentang betapa besar semangat anak-anak di pelosok untuk memperoleh pendidikan, meski harus berhadapan dengan segala kekurangan.
Era Digital yang Memengaruhi Pemahaman Agama dan Adat
Namun, di luar tantangan fisik dan infrastruktur yang buruk, anak-anak ini juga harus berhadapan dengan tantangan besar lainnya: dampak era digital terhadap pemahaman agama dan adat mereka. Di dunia maya, informasi begitu mudah diakses, namun tidak semuanya positif. Ada banyak informasi yang dapat memengaruhi cara pandang mereka terhadap agama dan adat, bahkan bisa memicu pemahaman yang intoleran dan mengancam kerukunan antar umat beragama.
Dalam menghadapi fenomena ini, penting bagi pendidikan untuk memperkenalkan moderasi beragama sebagai bagian dari kurikulum. Moderasi beragama adalah cara untuk menyeimbangkan pemahaman antara agama dan adat dalam konteks kehidupan sosial yang plural, khususnya di Indonesia, negara yang kaya akan keberagaman budaya dan agama.
Toraja: Contoh Moderasi Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari
Toraja, sebuah daerah di Sulawesi Selatan, menjadi contoh menarik bagaimana moderasi beragama diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun mayoritas penduduk Toraja menganut agama Kristen Protestan, mereka hidup berdampingan dengan umat Islam dan Katolik tanpa ada ketegangan yang berarti. Tradisi dan adat istiadat yang telah berkembang di Toraja memainkan peran penting dalam menjaga hubungan yang harmonis di antara berbagai kelompok agama.
Kehidupan masyarakat Toraja mengajarkan kita pentingnya saling menghormati dan memahami perbedaan. Dalam perayaan-perayaan besar seperti Natal dan Idul Fitri, warga Toraja saling mengunjungi, memberikan ucapan selamat, dan merayakan bersama. Toleransi ini menjadi bagian dari budaya yang tidak hanya menyatukan umat beragama, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di dalam masyarakat.
Moderasi beragama di Toraja juga tercermin dalam generasi muda mereka. Di tengah pengaruh globalisasi dan digitalisasi, pemahaman agama dan adat yang moderat terus dijaga dan diwariskan kepada anak-anak dan remaja. Ini adalah generasi yang memahami pentingnya menghargai perbedaan, menjaga hubungan yang harmonis, serta merawat nilai-nilai adat yang telah membentuk kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka tidak hanya mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata, tetapi juga di dunia maya.
Menggunakan Teknologi untuk Mempromosikan Moderasi Beragama
Teknologi, jika digunakan dengan bijak, dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Dengan media sosial dan berbagai aplikasi pendidikan, generasi milenial dapat diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan agama dengan cara yang lebih modern dan mudah diakses. Banyak platform digital seperti Al-Qur’an digital atau e-Pasraman untuk agama Hindu yang dirancang untuk membantu masyarakat mengakses pendidikan agama dengan cara yang lebih interaktif dan mendalam.
Namun, kita harus tetap waspada. Pemanfaatan teknologi ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kritis, untuk mencegah penyebaran konten yang bersifat radikal dan intoleran. Dengan menggunakan media sosial secara bijak, kita bisa menyebarkan narasi yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Generasi Milenial: Kunci Dunia Maya yang Toleran
Generasi milenial memainkan peran penting dalam membentuk dunia maya yang lebih toleran. Mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan konten yang mengedukasi dan menginspirasi orang lain untuk menghargai perbedaan. Di tangan mereka, platform digital bisa menjadi sarana untuk mempromosikan pendidikan karakter, toleransi, dan pemahaman yang mendalam tentang keberagaman agama dan adat.
Melalui tulisan, video, podcast, atau bentuk konten lainnya, generasi milenial dapat membentuk opini publik yang lebih moderat, serta menginspirasi orang lain untuk berpikir secara terbuka dan bertindak dengan penuh penghormatan terhadap perbedaan. Konten yang menyebarkan nilai-nilai positif ini bisa menjadi antidot terhadap konten yang bersifat divisif dan merusak keharmonisan sosial.
Membangun Indonesia yang Bersatu dan Damai
Pendidikan yang mengedepankan moderasi beragama adalah fondasi penting untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Kisah para siswa SD Buntu Lumu yang menempuh perjalanan jauh untuk belajar dan pengalaman masyarakat Toraja yang hidup berdampingan dalam keharmonisan memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana agama, adat, dan pendidikan harus saling mendukung untuk menciptakan generasi yang toleran.
Dengan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan generasi milenial, kita bisa mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik, mengurangi ketimpangan sosial, dan membangun Indonesia yang lebih bersatu. Sebuah Indonesia di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan kekuatan untuk menciptakan keharmonisan yang lebih baik di dunia nyata dan di ruang maya.
___________
Penulis: Siti Rahmania Tussani