Penulis: Regita Amri (Pimpinan Redaksi LPM Graffity)
OPINI–“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan.”
“Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib.”
Pernyataan yang disampaikan oleh Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek yang menggeser makna “tertiary education” dari sekadar jenjang pendidikan menjadi kebutuhan tersier atau kebutuhan lapis ketiga merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian serius. Perubahan makna ini memiliki dampak yang luas terhadap pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan tinggi dan aksesibilitasnya.
Secara tradisional, istilah “tertiary education” merujuk pada jenjang pendidikan yang datang setelah pendidikan dasar (primary) dan menengah (secondary). Ini mencakup perguruan tinggi, universitas, dan lembaga pendidikan tinggi lainnya. Menyebutnya sebagai “kebutuhan tersier” secara implisit merendahkan pentingnya pendidikan tinggi menjadi sesuatu yang tidak wajib dan hanya pilihan bagi mereka yang mampu secara finansial. Ini sangat berbeda dengan pandangan bahwa pendidikan tinggi merupakan hak yang harus diupayakan untuk semua orang.
Menggeser makna ini membawa implikasi serius. Jika pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan yang tidak penting atau tidak wajib, maka wajar saja bila biaya pendidikan tinggi dianggap boleh mahal. Hal ini berdampak pada terbatasnya akses bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Selain itu, pendekatan mekanisme pasar yang diterapkan dalam konteks pendidikan tinggi, dimana harga ditentukan oleh daya beli masyarakat, bertolak belakang dengan semangat amanat konstitusi Indonesia. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, seharusnya tidak semata-mata dilihat dari perspektif ekonomi dan transaksi pasar. Pendekatan ini mengabaikan tujuan utama pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Pendidikan tinggi yang mahal dan hanya terjangkau oleh segelintir orang akan menciptakan ketimpangan sosial yang lebih besar, menghambat mobilitas sosial, dan pada akhirnya merugikan pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Sementara itu, dalam konteks globalisasi dan era informasi, pendidikan tinggi memainkan peran kunci dalam membangun kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju telah lama memahami bahwa investasi dalam pendidikan tinggi merupakan investasi jangka panjang yang paling menguntungkan. Sistem pendidikan tinggi yang terjangkau atau bahkan gratis telah diterapkan di banyak negara Eropa, seperti Jerman dan Skandinavia, dengan hasil yang sangat positif dalam hal inovasi, produktivitas, dan kemajuan ekonomi.
Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Namun, potensi ini hanya dapat diwujudkan jika sumber daya manusianya berkualitas. Memberikan akses luas terhadap pendidikan tinggi yang terjangkau merupakan langkah strategis untuk mencapai hal ini.
Pendidikan tinggi yang terjangkau atau gratis tidak hanya memungkinkan lebih banyak orang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tetapi juga merupakan bentuk investasi negara dalam menciptakan generasi penerus yang kompeten, inovatif, dan berdaya saing global.
Oleh karena itu, menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier yang tidak wajib dan mahal adalah sebuah kekeliruan besar yang bertentangan dengan amanat konstitusi dan harapan publik. Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai hak yang harus diupayakan untuk semua, bukan sebagai barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi.
Pendidikan tinggi yang terjangkau atau bahkan gratis adalah salah satu kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berdaya saing. Ini adalah investasi jangka panjang yang tidak akan merugikan negara, tetapi justru akan memperkuat fondasi ekonomi dan sosial bangsa. Oleh karena itu, pemerintah perlu kembali menegaskan komitmennya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tinggi yang inklusif dan terjangkau bagi semua, it’s the poin.
Tim Redaksi
Editor: Crew LPM Graffity