STRUKTUR KEPRIBADIAN
A. Pengertian Stuktur Kepribadian dalam Psikologi Islam
Menurut James Driver struktur adalah “komposisi pengaturan bagian-bagian komponen, dan susunan suatu kompleks keseluruhan”. Sedang James P. Caplin mendefinisikan struktur dengan “suatu organisasi permanen, pola atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap dan abadi”.
Kerpibadian dalam bahasa Inggris disebut dengan personality akar kata personality berasal dari bahasa latin persona yang berarti topeng yaitu topeng yang dipakai oleh actor drama atau sandiwara. Dalam bahasa Arab disebut al-syakhs iyyah, berasal dari kata syakhs un, artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang disini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah pesan yang diberikan kepada orang lain yang diperoleh dari apa yng dipikir, dirasakan, yang terungkap melalui perilaku.
Penentuan struktur kepribadian tidak terlepas dari pembahasan substansi manusia sebab dalam pembahasan substansi tersebutn dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya, ahli membagi substansi manuisa atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs. Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi karena saling membutuhkan maka diperlukan sinergi yang dapat menampung kedua natur yang berlawanan, yang dalam terminology islam disebut nafs.
Nafs dalam khazanah islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Maksud nafs dalam bagian ini adalah sebagaimana pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Struktur nafsani merupakan struktur psikofisik dari kepribadian manusia, struktur ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjajian Allah Swt. Kepada manusia di alam arwah. Aktualisasi itu berwujud tingkah laku atau kepribadian.
B. Pembagian Struktur Kepribadian
1. Qolbu
Kalbu (al-qalb) merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Ghazali secara tegas kelihat Qalbu dari dua sifat, yaitu Qalbu jasmani dan Qalbu ruhani. Qalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dada sebelah kiri. Qalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan Qalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan Qalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Al-Ghazali berpendapat bahwa Qalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al- bathin (mata batin) yang memancarkan keimanan dah keyakinan. Al-zamakhsary menegaskan bahwa Qalbu itu diciptakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan meneriman kebenaran dari-Nya.
Dari sisi ini Qalbu ruhani merupakan bagian esensi dari nafs manusia. Qalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrolan, dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila Qalbu ini berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya, sebab Qalbu ini memiliki natur ilahiah atau rabbaniah. Natur ilahiah nmerupakan natur supra-kesadaran yang dipancarkan dari Tuhan. Dengan natur ini maka manusia tidak sekadar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Oleh karena natur inilah, maka Qalbu disebut juga fitrah ilahiah atau fitrah rabbaniah nuraniah.
Ketika mengaktual, potensi Qalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik-buruknya sama tergantung pada pilihan manusia sendiri.
Sabda Nabi SAW; Artinya
“sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah Qalbu.” (H.R al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Diskursus mengenai Qalbu lebih banyak dibahas oleh para sufi. Bagi para sufi, Qalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Qalbu mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita-rasa (al-zawqiyah). Qalbu akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah SWT) dan kasyf (terbukanya dinding yang menhalangi Qalbu). Menurut al-Qusyairy, pengetahuan kalbiah jauh lebih luas dari pada pengetahuan aqliyah. Akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan Qalbu dapat mengetahui hakikat semua yang ada.
Al-Ghazali berpendapat bahwa Qalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan Qalbu sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah SWT. Ma’rifah pada Allah SWT sangat tergantung pada perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah SWT hanya dapat diperoleh melalui indera. Dengan uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa indera harus bersumber dari Qalbu. Tanpa Qalbu, maka indera manusia tidak akan mampu memperoleh daya persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia akan terwujud apabila terjadi interelasi daya-daya kalbiah dengan daya-daya indera.
Daya emosi Qalbu ada yang positif dan negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus, dan sebagainya. Sedangkan emosi negatif seperti benci, sedih, ingkar, dan sebagainya. Daya emosi Qalbu dapat teraktualisasi melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa estetika, rasa sosial, rasa ekonomi, rasa religius dan sebagainya dan tingkah lakunya juga begitu sebagai man hadis Rasulullah, yang artinya:
“Bukankah dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika bagus maka seluruh tubuh menjadi bagus, jika rusak maka seluruh tubuh akan rusak, yaitu hati”. (Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahihu al-Mukhtasiru. Juz 1 Beirut : Dar Ibnu Katsir, 1407 M, h. 28).
Qalbu mrupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Ghazali secara tegas kelihat kalbu dari dua sifat, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dada sebelah kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathin (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.
Ketika mengaktual, potensi kalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik-buruknya sama tergantung pada pilihan manusia sendiri. Sabda Nabi SAW; “sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (H.R al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Diskursus mengenai kalbu lebih banyak dibahas oleh para sufi. Bagi para sufi, kalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Kalbu mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita-rasa (al-zawqiyah). Kalbu akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah SWT) dan kasyf (terbukanya dinding yang menhalangi kalbu). Menurut al-Qusyairy, pengetahuan kalbiah jauh lebih luas dari pada pengetahuan aqliyah. Akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan kalbu dapat mengetahui hakikat semua yang ada.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan kalbu sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah. Ma’rifah pada Allah swt. sangat tergantung pada perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah hanya dapat diperoleh melalui indera. Dengan uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa indera harus bersumber dari kalbu. Tanpa kalbu, maka indera manusia tidak akan mampu memperoleh daya persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia akan terwujud apabila terjadi interelasi daya-daya kalbiah dengan daya-daya indera.
Daya emosi kalbu ada yang positif dan negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus, dan sebagainya. Sedangkan emosi negatif seperti benci, sedih, ingkar, dan sebagainya. Daya emosi kalbu dapat teraktualisasi melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa estetika, rasa sosial, rasa ekonomi, rasa religius dan sebagainya, demikian pula halnya dengan tingkah lakunya.
2. Akal
Secara etimologi, akal memiliki arti al-Imsak (menahan), al-Nahi (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.
Akal merupakan organ tubuh yang terletak dikepala yang lazimnya disebut dengan otak yang memiliki cahaya nurani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan dan kognisi. Akal juga diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu menghantarkan manusia pada subtansi humanistik. Atau potensi fitriah yang memiliki daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk yang berguna dan yang membahayakan. Pengertian di atas dapat dipahami bahwa merupakan daya berfikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia.
Al-Gazali menggunakan empat pengertian pada akal yang dikutip dari karangan Abdul Mujib, yaitu:
a. Sebutan yang membedakan antara manusia dan hewan
b. Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akil baligh, yaitu sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
c. Ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan “siapa yang pengalaman maka dilah orang yang berakal”.
d. Kekuatan yang dapat menghentikan keinginan yang bersifat naluriah untuk menerawan jauh keangkasa, mengekan dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan.
Akal merupakan lawan dari tabi’at dan kalbu. Akal mampu memperoleh pengetahuan melalui melalui daya nalar, sedang tabiat memperoleh pengetahuan melalui daya naluriah atau daya alamiah. Akal mampu memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif, sedang kalbu mampu memperoleh pengetahuan melalui daya cita-rasa. Akal juga menunjukkan subtansi berfikir, berpendapat, memahami menggambarkan, menghafal, menemukan dan mengucapkan sesuatu. karena itulah natur akal adalah kemanusiaan sehingga ia disebut juga fitrah insaniiyah.
Akal disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 49 kali. Jumlah tidak temasuk sinonimnya, seperti al-Lubb dan sebagainya. Akan diungkapkan di dalam al-Qur’an tidak seperti dengan kalbu. Akal diungkapkan hanya dalam bentuk kata kerjadan tidak satupun disebutkan dalam bentuk kata benda. Hal ini menunjukkan bahwa akal bukanlah suatu subtansi yang bereksistensi, melainkan aktifitas subtansi tertentu. Jika akal dipahami sebagai suatu aktivitas maka subtansi apakah yang melakukan aktivitas itu? Komponen nafsani yang mampu berakal adalah kalbu. Dalam firman Allah (QS. al-Hajj/22: 46):
فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ .
Terjemahnya:
Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami.
Berdasarkan ayat ini, para mufassir sebagaimana diulas oleh al-Gazali dan Wahbah al-Zukhailiy berbeda pendapat. Sebagian ada yang berpendapat bahwa kalbulah yang berakal sedangkan sebagian yang lain mengatakan adalah otang yang berakal.
Al-Zukhailiy lebih lanjut menjelaskan bahwa pendapat yang valid adalah pendapat kedua, yakni otak yang berakal bukan kalbu. Adapun maksud dari QS. Al-Hajj ayat 46 tersebut adalah bahwa dalam tradisi kebahasan, seseorang sering menggunakan kalbu untuk menyebutkan akal, sehingga dalam al-Qur’an menggunkan kalbu untuk berakal. Pendapat ini senada dengan pendapat plato bahwa jiwa rasional itu bertempati dikepala (otak mansuia) sehingga yang berfikir adalah otak bukan kalbu.
KRITIKAN PEMBACA
Semestinya pengertian dalam sub pembahasan awal kepribadian dalam psikologi Islam menempatkan perangkat teori dan pengertian yang berbasis Islam atau lebih banyak memasukkan tokoh yang berbasis pada pemikiran Islam.
Sementara di bagian B yakni pembagian struktur kepribadian yang terdapat pada poin pertama yaitu Qalbu memiliki penjelasan antara pengertian Qalbu menurut imam Al Ghazali menempatkan Qalbu memiliki insting yang disebut dengan Al-nur ilahi atau cahaya ketuhanan dan al-bashirah al-batin atau mata batin yang memancarkan keimanan dan keyakinan sementara penjelasan si penulis menempatkan Qalbu ini berfungsi sebagai pemandu pengontrol pengendali struktur nafsu yang lain apabila Qalbu menurut penulis ini berfungsi secara moral maka kehidupan manusia menjadi baik.
Ketika ditelaah secara istilah menurut imam Al Ghazali secara hakikat Qolbu pada dasarnya mengantarkan manusia pada perilaku yang baik dan tak dapat dikotori sebab ia adalah pancaran cahaya ketuhanan berbeda dengan pandangan penulis dengan sabda rasulullah mengatakan bahwa potensi Qalbu tidak selamanya baik baik buruknya tergantung pada pilihan manusia. Artinya proses eksternal pada tubuh bisa menggugurkan cahaya ketuhanan tersebut dan melahirkan kontradiksi dengan hakikat dasar penciptaannya.
Hakikat Qolbu kembali dipertegas di bawah yang berbeda dengan sabda Rasulullah yakni pandangan para sufi menganggap Qalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan Rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu karena memperoleh pengetahuan atau alma’rifat melalui daya cita rasa atau al-Zawaqiah. Artinya dalam catatan tersebut harusnya menjelaskan sekaligus lebih spesifik antara Qalbu secara jasmani dan Qalbu secara rohani sehingga dalam kedua argumentasi tersebut pembaca dapat menarik titik kesimpulan dari kedua hal yang kontradiksi.
Sementara di sub pembahasan kedua yaitu akal penulis menjelaskan pada argumentasi awalnya bahwa akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala yang lazimnya disebut dengan otak yang memiliki cahaya nurani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan dan kognitif atau juga diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Sementara pada argumentasi kedua dia menuliskan bahwa akal sebagai suatu aktivitas yang substansi melalui komponen yang mampu berakal adalah qolbu.
Disertai ayat di QS. Al-Hajj/22:46 ayat 22 surat 46 Artinya “mereka mempunyai hati dengan itu mereka dapat memahami”
Ini menunjukkan menurut si pembaca bahwa terjadi kontradiksi antara argumentasi awal yang menganggap bahwa otak lah yang dapat berakal sementara diargumentasi kedua menganggap bahwa Qalbu lah yang berakal.
Penulis: Taufik Hidayat
Editor: Siti